Rabu, 27 Oktober 2010

Betawi Dan Sisa Kerbaunya

Sama seperti hari-hari biasanya, Jumat (28/9) lalu pukul 16.00, suasana di sekitar Plaza Cengkareng, Jakarta Barat, hiruk-pikuk. Lalu lintas padat merayap. Matahari terik. Di depan Plaza, dua jalur jalan, masing-masing di sisi kantor Kecamatan dan Kantor Kepolisian sektor Metro Cengkareng, masih terbelah gundukan tanah bakal Jalan Tol Lingkar Luar Jawa.
Beberapa bagian dataran rendah ditumbuhi rumput dan perdu putri malu. Sebagian lagi berupa tanah telanjang berbatuan. Di tempat itu ada delapan kerbau, dua diantaranya kerbau bule. Lilik (47) sang Pengembala, bersama dua rekannya duduk di rerumputan.
Empat puluh tahun lalu, di tempat yg sama, ia setiap hari mengembalakan kerbau-kerbaunya. Namun, sejak tahun 1990, ia mengembalakan kerbau hanya pada pertengahan bulan Ramadhan. Mengapa?
"Dulu, sejauh mata memandang, yg ada cuma sawah. Engkong (kakek) saya, almarhum Rein, punya berhektar-hektar sawah. Setiap hari saya menggembalakan kerbau kemana saya suka dari pukul 07.00 sampai 12.00. Lalu menggembalakan lagi pukul 14.00-17.00. Sekarang saya hanya menggembalakan kerbau di sini dan hanya pada pertengahan bulan Ramadhan. Saya sekarang bukan lagi penggembala, tapi cuma pedagang kerbau," ungkapnya. Ia lalu tertawa terbahak-bahak. Anting di telinga kirinya bergerak-gerak mengikuti tawanya. Di lehernya tersampir sarung.
Lilik lalu menjelaskan, di antara cucu-cucu Rain, ia dinilai paling rajin menggembalakan kerbau sehingga diberi tugas memelihara kerbau kakeknya itu hingga beranak pinak. "Karena kegemaran saya menggembala kerbau, saya putus sekolah kelas V SD. Saya enggak tahu kalau suatu saat sawah dan kandang-kandang kerbau di sini hilang. Akhirnya saya cuma dagang kerbau kecil-kecilan seperti ini," ujar Lilik, seperti menyesali nasibnya.

Semur Betawi
Bersama seorang kakaknya, ia mulai berdagang kerbau sejak tahun 1989. Awalnya ia cuma mampu membeli dua kerbau, sampai akhirnya ia mampu menjual 10-12 ekor kerbau setiap menjelang lebaran.
Lilik mengemukakan, di kalangan orang Betawi, menu semur Betawi menjadi istimewa kalau dagingnya daging kerbau, bukan daging sapi. Semur istimewa ini umumnya disajikan hanya pd acara hajatan, seperti khitanan, pernikahan, lebaran haji, terutama idul fitri.
"Daging kerbau lebih banyak seratnya, sedikit minyaknya, dan tahan lama. Semur dgn daging kerbau bisa tahan sampai dua minggu. Setiap dihangatkan, bumbu semur semakin merasuk ke daging kerbau. Kalau daging sapi dihangatkan bolak-balik, hancur," ucap Lilik. Akan tetapi, lanjutnya, ada jeleknya juga tuh. Orang rumah yg makan semur kerbau jadi bosan karena gak habis-habis, ha-ha-ha..."
Menurut dia, harga seekor kerbau sat ini Rp. 6 juta, sedangkan seekor sapi Rp. 5 juta. Pada hari biasa, daging kerbau eceran tak tersedia di pasar. Masyarakat Betawi yg punya hajat dan menginginkan menu makan daging kerbau umumnya membeli sekurang-kurangnya seekor kerbau.
Dua hari sebelum lebaran, Lilik dibantu sejumlah pejagal biasanya memotong kerbau. "Memotongnya pukul 02.00. Pukul 05.00 pembeli sdh pd dateng meskipun daging belum dirapikan. Mereka saling berebut memilih daging yg dianggap bagus," ucapnya.
Lilik bak kisah klasik warga Betawi yg terlempar dari deru pembangunan Ibukota. Pertumbuhan gedung di sekitar rumahnya, di belakang Plaza Cengkareng, membuat ia dan keluarganya justru semakin miskin, terasing. Bersama kerbau yg dijualnya, Lilik cuma menjadi penonton keriuhan pusat perbelanjaan yg terus menggoda pengunjung utk membeli apa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar