Minggu, 24 Oktober 2010

Pesantren Harus Jaga Toleransi

Pesantren harusnya bisa menjaga keseimbangan antar dimensi ekstremitas sikap keislaman dgn mayoritas umat Islam di Asia Tenggara yg toleran.
Sikap watak Melayu yg memilih jalan tengah, toleran dan menjaga keseimbangan harus menjadi modal penting. Apalagi pesantren sbg lembaga pendidikan Islam tradisional sdh diterima sbg bagian dari kehidupan masyarakat.
Hal ini disampaikan cendikiawan muslim Indonesia, Prof Zamakhsyari Dhofier, dalam seminar "Tajdid Pemikiran Islam Kedua" di Sepang, Malaysia, Kamis (13/4). Seminar yg dilaksanakan Yayasan DI Malaysia dan Center for MM Indonesia ini dihadiri 150 intelektual Malaysia dan Indonesia. "Pesantren harus peduli pengetahuan sains dan teknologi, tak lagi cuma pengetahuan keagamaan," ujarnya.
Meski demikian, menurut Dhofier, ada kenyataan menyedihkan di pesantren. Meski jumlah pesantren di Indonesia saat ini lebih dari 16.000 dan madrasah lebih dari 40.000, jumlah itu tak memberi gambaran pasti tentang kualitasnya. Lemahnya akar penunjang pesantren justru karena adanya tuntutan agar pesantren ikut berperan dalam percaturan peradaban dunia. Tuntutan ini terkadang membebani pesantren dan dalam situasi tertentu bahkan di luar batas kemampuan pesantren. Apalagi hampir 80 persen dari 8 juta peserta didik di pesantren berasal dari keluarga miskin di pedesaan sehingga dukungan dana bagi pesantren minim," ujarnya.
Lebih menyedihkan lagi, menurut Dhofier, dukungan dana penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah dan masyarakat Muslim yg tergolong kaya juga belum memadai. Padahal, kalau potensi keuangan yg dimiliki masyarakat ini dpt dikelola baik, pesantren akan memberi andil besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Mantan Menag Tarmizi Taher mengatakan, bangsa Melayu dgn kekayaan budaya berpeluang memparaktikkan wajah Islam yg moderat dan toleran. Apalagi, budaya Arab yg maskulin sering tidak kompatibel dgn wajah Islam yg toleran. "Islam memang lahir di Arab, dan ilmunya dikembangkan di Al-Azhar Mesir, tapi Islam yg damai itu dipraktikkan di Asia Tenggara," ujarnya.
Dari segi jumlah saja, menurut Tarmizi, penduduk beragama Islam di Asia Tenggara lebih besar dibandingkan dgn Timur Tengah. "Itu sebabnya, pakar-pakar agama Islam dari Melayu dapat mengajarkan pemahaman keislaman yg moderat dan hidup di Asia Tenggara," ujarnya.
Amini Amir bin Abdullah dari Malaysia mempertanyakan apakah penyelesaian masalah pesantren harus dilakukan parsial atau dikaitkan dgn dunia global. Pilihan ini akan menentukan masa depan Islam di Asia Tenggara. "Kita harus menentukan pilihan terbaik. Bagi saya, pilihan itu bisa dilakukan bersamaan. Artinya, penyelesaian di tingkat lokal, juga harus memerhatikan perkembangan global," ujarnya.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar