Rabu, 06 Oktober 2010

Azwir Berlebaran dalam Kesendirian

LEBARAN biasa menjadi momen bahagia saat berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Tetapi, bagi Azwir (33), warga desa Gugop, Pulau Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Lebaran adalah kesendirian.
Inilah Lebaran kedua yg harus dilewati Azwir tanpa keluarga. Istri dan ketiga anaknya hilang ditelan gelombang tsunami dua tahun silam. Tak ada kabar kemana laut menghanyutkan jenazah keempat orang terkasih. Ketika bulan Rhamadan tiba, saat orang-orang berziarah di pusara keluarga yg telah meninggal, Azwir hanya bisa berdoa dalam sunyi di dalam kamar baraknya.
Dan, sore itu, seminggu menjelang lebaran, Azwir melewatkan buka puasa dalam kesendirian di kamar barak. Di luar kamar, suasana jalanan desa Gugop sangat sunyi. Maklum, desa di pulau kecil itu telah kehilangan lebih dari tiga perempat penduduknya. Dari sekitar 850 penduduk di Gugop sebelum tsunami, yg selamat hanya 200-an orang.
Malam itu tak ada suasana hingar-bingar penduduk di desa Gugop menyambut Lebaran. Tak ada kembang api ataupun bunyi petasan. Bahan, tawa ceria anak-anakpun sangat jarang terdengar. Hanya beberapa anak kecil di Desa Gugop yg selamat dari tsunami. Perempuan yg kehilangan suami dan anak-anaknya saat tsunami pd malam itu tengah membuat kue-kue Lebaran khas Aceh, seperti kue bada reteuk, karah, dan bohoi. Harum kue menguar dari pemanggang berupa kotak berbahan seng yg dipanaskan dgn kompor minyak tanah. Namun, harum kue lebaran itu justru membuat Azwir larut dalam kepedihan.
Momen lebaran selalu saja mengingatkannya kpd anak dan istri.”Menjelang lebaran seperti inilah yg paling pedih. Biasanya kami buka puasa dan sahur bersama-sama. Kemudian belanja ke Banda Aceh, menyiapkan baju utk anak-anak,” kenang Azwir. Kini tak ada persiapan khusus Azwir menyambut Lebaran.

Kembali ke Laut

Laut memang telah merengut orang-orang tercintanya, tetapi hidup Azwir tak bisa terpisahkan dari laut. Dari laut, Azwir menggantungkan hidup hingga kini. Hampir tiap malam Azwir menyelami lautan, mengambil berkah dari laut berupa udang lobster. Profesi yg ditekuninya sejak usia 9 tahun itu adalah satu-satunya tumpuan hidup.

Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu sehabis shalat tarawih, Azwir bersiap-siap mencari lobster. Di tengah udara dingin akibat hujan yg mengguyur di Pulau Breueh sejak sore hari, Azwir tetap melaut. Di tengah kehilangan yg sedemikian besar, Azwir mencoba membuat hidupnya lebih bermakna, dgn menjadi wali bagi anak-anak yatim di kampungnya. Lebaran kali ini memang sepi tanpa istri dan anak-anak kandungnya. Tetapi, Azwir kini tak sendiri. Dia menjadi tumpuan baru bagi anak-anak yatim di kampungnya.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar