Kamis, 21 Oktober 2010

Ketika Harga Komoditas Membumbung

Ada rasa masygul ketika membaca berita tentang membumbungnya harga berbagai komoditas. Harga tembaga naik tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Seng lipat dua, dan terigu serta kedelai meningkat 70 persen di tahun 2007. Sementara harga-harga mendatang utk minyak mentah, emas, perak, timah, uranium, kokoa,dan jagung sdh mencapai-atau hampir mencapai- rekor (tertinggi).
Sebelum ini, komoditas selalu mengikuti siklus menggelembung (boom) dan kempis (bust), tetapi banyak ekonom kini melihat adanya pergeseran fundamental di pasar.
Seperti diulas Clifford Krauss yg dikutip di atas, perubahan muncul dari dinamika di negara-negara yg pd masa lalu terbelakang. Di negara-negara tsb, salah satunya Cina, berlangsung pembangunan yg memperbaiki taraf hidup miliaran orang. Kebutuhan akan makanan, logam, dan bahan bakar melonjak hebat. Pemasokpun harus berjuang keras utk memenuhinya. Tak terelakkan, harga-hargapun membumbung. Strategi komoditas di BMO Capital Markets Bart Melek menegaskan telah terjadi perubahan fundamental dalam struktru ekonomi global.

Kalau AS resesi
Masih akan dilihat, apakah tren di atas masih akan berkelanjutan manakala AS dilanda resesi. Namun, sejumlah pengamat ekonomi berpendapat bahwa permintaan luar negri akan bisa mempertahankan harga-harga komoditas sekalipun AS dilanda resesi.
Alasan bagi pandangan ekonom di atas adalah berbeda dgn waktu-waktu lalu, harga komoditas sekarang ini lebih terkait dgn faktor di luar AS, seperti industrialisasi di China, juga di India, lalu juga negara-negara minyak yg tambah makmur, seperti Arab Saudi dan Rusia.
Bisa dikatakan, dewasa ini dunia semakin sulit memenuhi permintaan yg terus meningkat. Minyak bisa dikatakan makin sulit diperoleh, sementara biaya utk memproduksinya terus meningkat. Sementara utk biji-bijian, kekeringan dan hujan berlebihan akibat cuaca ekstrin-yg boleh jadi terkait dgn pemanasan global dan penggunaan bahan bakar fosil secara eksesif- membuat produksi biji-bijian berkurang.
Satu faktor tunggal yg disebut Krauss sbg pengerek harga komoditas adalah gegap gempitanya pembangunan di China. Raksasa Asia itu kini punya 7.000 pabrik baja, dua kali dari jumlah tahun 2002. Setiap pabrik baru perlu listrik, yg harus disediakan oleh pembangkit listrik, yg harus didukung oleh kereta api diesel yg mengangkut batu-bara. Lalu utk mengangkut baja yg diproduksi dibutuhkan tambahan truk dan perluasan pelabuhan.
Tampak memang bahwa revolusi industri di China- dgn hasil berupa pertumbuhan ekonomi sebesar 10 persen tahun lalu-telah tampil sebagai faktor tunggal yg meningkatkan kebutuhan global akan minyak dan komoditas lain.

Merespons Perubahan
Dengan proyeksi kebutuhan komoditas yg terus meningkat, yg lalu membuat harga-harganya semakin tinggi, negar-negara jelas harus mengambil langkah utk merespons segera perubahan yg terjadi.
Misalnya saja, meningkatnya harga minyak telah membuat upaya menemukan energi alternatif- seperti biofuel- ditingkatkan. Boom etanol di kawasan Midwest di AS telah membuat harga jagung melonjak. Sayangnya, karena jagung merupakan bahan makanan vital bagi hewan ternak, kenaikannya segera diikuti kenaikan harga susu dan daging. Harga biji-bijian pun ikut naik karena lahan yg semula utk menanam berbagai bijian tadi digunakan utk menanam jagung.
Dari satu sisi, alternatif energi bisa saja mudah ditemukan. Namun, kuatnya tali-temali urusan membuat solusi tidak serta merta mudah ditemukan.
Selain kendala modal, SDM, dan teknologi, pengembangan sektor pertambangan di era pelestarian lingkungan hidup juga sering terkendala karena sumber pertambangan tdk jarang berada di kawasan hutan lindung (Situs Bappenas 2003).

Dari Hulunya.
Merespons naiknya harga komoditas bisa dilakukan dgn langkah tanggap darurat, seperti halnya utk mengatasi melambungnya harga kedelai, juga minyak goreng dan terigu.
Akan tetapi, berikutnya, respons juga harus ditarik ke arah konsep, karena catatan yg yg sejauh ini dipahami seperti halnya dalam soal kedelai adalah bahwa selain adanya faktor eksternal, krisis juga buah dari akumulasi tiadanya keseriusan pemerintah dalam membangun ketahanan pangan.
Riset diberbagai lembaga penelitian dan pendidikan seperti LIPI dan IPB disebut telah menengarai potensi kelangkaan, tetapi memang jelas lembaga ini tak bisa sendirian dalam implementasi suatu kebijakan atau inisiatif. Padahal, salah satu elemen solusi sudah sdh ada di tangan, seperti tersedianya bibit unggul kedelai plus yg ditemukan peneliti LIPI (Warta Kota, 19/11).
Hal yg sama kiranya juga bisa dikatakan utk sektor pertambangan. Giat mencetak SDM, ahli pertambangan, giat melakukan survei dan eksplorasi, dan menguasai dinamika pasar, menjadi kunci membangun ketahanan dan keunggulan.
Tanpa itu, yg akan selalu muncul- lebih-lebih ketika dunia seperti berebut komoditas- adalah ironi, bagaimana sebuah negara yg dilimpahi sumber daya alam aneka ragam setiap kali terpojok dalam posisi sulit utk memenuhi kebutuhannya sendiri.[-O-]
Rata Penuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar