Senin, 20 September 2010

Nasib Nirmala, Imbas Kemiskinan NTT

Nama Nirmala Bonat (19) tiba-tiba mencuat menghiasi ruang media massa cetak dan elektronik, baik di Indonesia, negri kelahirannya, maupun di Malaysia, tempat dia mengadu nasib. Nirmala, gadis kelahiran Tuapakas, Kualin, Timor Tengah Selatan, NTT, menjadi "terkenal" justru karena menjadi korban kekejian majikannya.
Tidak pernah dikira oleh Martha Toni, ibu kandung Nirmala, bahwa anaknya itu disiksa secara kejam. Peristiwa yg dilami Nirmala, secara langsung atau tidak memotret kembali kondisi riil tanah kelahirannya yg terpencil, miskin dan tertinggal di ujung jarak 165 kilometer dari Kupang. Desa itu hanya dapat dijangkau dgn sepedamotor atau mobil gardan ganda. Tidak bakal ada bus atau angkutan desa reguler ke Tuapakas.
Lebih banyak orang berjalan kaki ke desa ini. John Salukh, staf dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi NTT, dan beberapa rekan dari PT Kurnia Bina Rizki Kupang, perusahaan yg mengirim Nirmala ke Malaysia, mesti berjalan kaki 8 km setelah mobil yg mereka tumpangi tak sanggup melintas jalan berbatu di bukit terjal Tuapakas.
Tuapakas terletak di sebuah bukit dgn dataran luas. Desa ini dikepung deretan perbukitan dgn alam yg hijau. Di datarannya tumbuh ribuan pohon kelapa dan pohon buah-buahan lain seperti mangga. Tetapi hidup rakyatnya sangat miskin dan amat sulit selama musim kemarau berlangsung April-November.
Hidup warga di Tuapakas lebih banyak mengandalkan hasil pertanian lahan kering seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian, serta usaha ternak ayam, babi, dan sapi. Mantan kepala desa Tuapakas Daniel Bire yg juga paman Nirmala Bonat mengisahkan kesulitan pangan yg sering dialami warga.
Di desa inilah Nirmala lahir dari rahim Martha Toni, buah cintanya dgn Daniel Bonat 27 Agustus 1984.
Daniel meninggalkan Martha dan kawin lagi saat Nirmala masih bayi. Didorong kesulitan hidup, saat Nirmala berusia sekitar enam tahun, Martha kawin dgn Leo Thomas.
Sama seperti Daniel Bonat, Leo Thomaspun pergi meninggalkan Martha yg kala itu sedang hamil tua. Bayi yg kemudian terlahir sebagai adik tiri Nirmala itu diberi nama Vita Leo (12).

”Kondisi ekonomi yg sulit dan tidak pasti itulah yg mendorong banyak warga Tuapakas merantau ke luar, termasuk Nirmala ini,” kata Daniel Bire, sesaat sebelum meninggalkan Kupang menuju Jakarta Selasa (25/5), untuk seterusnya hari Rabu menuju Kuala Lumpur menemani Martha menjenguk Nirmala.

Nasib Nirmala da kondisi Tuapakas sebenarnya merefleksikan sebuah persoalan besar di belakangnya, akar permasalahan NTT, yakni kemiskinan dan jauhnya hiruk pikuk pembangunan desa.

Meski penanggulangan kemiskinan di NTT sudah dilaksanakan sejak era Orde Baru, masalah itu tidak pernah surut dari provinsi berpenduduk 4.110.929 jiwa in (februari 2004). Kini 30,74 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebanyak 77,8 persen penduduknya masih berpendidikan SD. Penduduk yg buta huruf, 13,28 persen dari penduduk usia sekolah,3.007.510 orang. Tingkat kematian ibu hamil tinggi, yakni 550 ibu hamil mati di antara 100.000 kelahiran, dan 50 bayi mati di antara 1.000 kelahiran.

Status gizi buruk dan kurang gizi balitapun masih tinggi, 35,5 persen. Di antara 100.000 penduduk hanya ada tujuh dokter, tetapi dokter hanya ada di kota kecamatan dan jumlahnya sangat terbatas karena mereka terkonsentrasi di kota kabupaten dan provinsi.

Di bidang ekonomi sampai dgn tahun 2003, sektor pertanian/primer membentuk 43,60 persen produk domestik regional bruto. Tingkat pendapatan perkapita baru sekitar Rp.2,2 juta pertahun atau sekitar Rp.3.500 sampai Rp.5.000 per hari. Disaat realisasi investasi sangat rendah, pemerintah daerah mengenjot pajak dan retribusi terhadap warga.
Akibatnya, seperti yg dilukiskan pemerhati masalah pembangunan lokal NTT Dr Fred Benu dari Universitas Nusa Cendana, kemiskinan menjadi begitu kental. Umumnya msyarakat miskin tak mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan/gizi, sandang papan, pendidikan dan kesehatan.
Ditambah dgn sumber daya alam yg terbatas, daerah yg tandus dan gersang, membuat tingkat kemiskinan makin tinggi di NTT. Tetapi, sebenarnya bukan itu masalahnya, seperti diakui ketua Bapeda NTT Piet J Nuwa Wea dihadapan peserta rapat kerja dgn Badan-Badan PBB di Kupang, pertengahan Mei ini.
Kata Piet Nuwa Wea, masyarakat NTT, termasuk kalangan pejabatnya, selalu mengambing hitamkan keadan alam yg gersang dan tandus sbg penyebab kemiskinan Dia membandingkan dgn sejumlah daerah yg tandus di Jawa, namun masyarakatnya sangat maju di bidang industri pengolahan hasil pertanian.
NTT sebenarnya memiliki potensi besar dibidang peternakan, perikanan dan pariwisata, serta industri rumah tangga. tapi sekitar 4,5 Triliun dana yg mengalir ke NTT setiap tahunnya tdk sanggup menyejahterakan rakyat. Program pengentasan kemiskinan masih sangat parsial dan sarat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Blasius Udak dari Yayasan Peduli Sesama, yg selama ini kritis dan keras melakukan advokasi terhadap rakyat yg terkena dampak praktik KKN dan ketimpangan pembangunan di NTT, menjelaskan, kemiskinan di NTT disebabkan oleh korupsi. Sekitar 60 persen dana utk penduduk miskin tdk menetes kesasarannya.
ingat kasus rumpon di belu yg menelan Rp 4,3 miliar? Sekitar Rp 2,4 miliarnya tdk sampai ke sasaran alias disalah-gunakan (korupsi). Demikian juga kasus rumpon di kupang yg menelan Rp. 3,8 miliar, sekitar Rp 1 miliar menguap.
Di tengah persoalan tsb, terdpt 2,83 juta jiwa penduduk NTT (April 2004) masuk dalam kategori "angkatan kerja", tapi 28 persen di antaranya hanya tamat SD.
Kepala Dinas Nakertrans NTT Ignatius Conterius mengatakan, ada persoalan besar di depan mata. Persoalan itu adalah bagaimana agar angkatan kerja tadi bisa terserap di pasar kerja lokal, regional, dan luar negri. Pasar kerja lokal yg tersedia hanya di sektor pertanian yg "morat-marit". Pasar kerja lokal yg "basah" tdk bisa menyerap tenaga kerja tamatan SD. Conterius menjelaskan, hanya pasar kerja luar negri seperti Malaysia (utk perkebunan sawit dan karet) yg menyerap tenaga kerja tamatan SD atau tanpa skill (keahlian khusus), termasuk utk pembantu rumah tangga. Pencari kerja tamatan SMP/A di NTT pun tdk memiliki keahlian khusus atau spesialisasi tertentu.
Meski demikian, kata Conterius, pencari kerja yg tamat SD dan SMP lebih berpeluang mendapat kerja di luar negri (Malaysia) sbg buruh kasar dgn gaji antara Rp. 1 juta sampai 1,5 juta per bulan, dibandingkan dgn pasar kerja lokal dan regional. Itu sebabnya, saat ini NTT telah mengirim 5.877 TKI, terbanyak (5.646 org) di Malaysia, termasuk Nirmala Bonat.

Nirmala diberangkatkan oleh PT Kurnia Insan Rizki cabang Kupang per 26 Juni 2003, seperti dilaporkan Balai Pelayanan dan Penempatan TKI di Kupang, bersama 26 rekannya. Semuanya bertekad mengais ringgit, ingin hidup lbh baik, namun nasib Nirmala sangat buruk.

Sebenarnya data jumlah TKI asal NTT tadi hasil pengiriman secara resmi melalui PJTKI yg beroperasi resmi pula. Conterius mengaku, hampir setiap pekan ada saja TKI ilegal yg pergi keluar dari NTT menuju Malaysia, dan saat ini jumlahnya jauh lebih besar dari TKI resmi.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar