Rabu, 29 September 2010

Belajar dari Gandhi

Tanggal 2 Oktober ini merupakan peringatan ulang tahun ke-140 kelahiran Mahatma Gandhi. Kebanyakan orang mengakuinya sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah. Bahkan, Einstein pernah memujinya, "Mungkin generasi berikutnya akan sulit akan sulit percaya kalau ada orang seperti itu pernah hidup di dunia ini." Pertanyaannya adalah adakah ajarannya masih relevan utk masa kini?
Selama ini, kita mengenal Gandhi sbg tokoh penggerak ahimsa dan satyagraha. Kedua istilah itu kerap dibaurkan meski sebenarnya ada nuansa perbedaan. Ahimsa lebih merupakan perilaku utk tak menjalankan atau menghindari tindak kekerasan, terutama terhadap makhluk hidup. Dan, Gandhi menerapkannya, khususnya dalam perjuangan politik.
Sementara Satyagraha lebih merupakan falsafah dan praktik utk menjalankan prinsip-prinsip kebenaran. Bukan kebenaran tafsiran manusia, melainkan lebih merupakan berserah terhadap kehendak Ilahi. Dalam satyagraha, tujuan dan cara itu adalah satu, keduanya tak boleh berlawanan. Tujuan Mulia utk memuliakan Allah tak boleh menghalalkan segala cara. Dan, salah satu prinsip satyagraha adalah ahimsa.
Pertanyaan lanjut, apakah ahimsa ataupun satyagraha tdk terlampau idelaistis? Sebenarnya, jika menukik ke arah ajaran Gandhi, tdklah demikian. Dalam keadaan nyawa terancam, kita berhak melakukan pembelaan diri, termasuk dgn menggunakan kekerasan.
Jika pilihannya terbatas antara kepengecutan dan kekerasan, Gandhi lebih memilih yg kedua utk mempertahankan martabat bangsa. Namun, dalam banyak hal tersedia sejumlah pilihan dan tdk hanya terbatas pd dua hal itu.
Alhasil, Gandhi teguh berpendirian, pantang kekerasan itu jauh lebih unggul dibandingkan kekerasan; utk sejumlah hal pengampunan lebih kesatria drpd penghukuman, sementara kekuatan sejatu lahir terutama dari kemauan keras dan bukan dari kapasitas fisik.

Menempa Diri
Jika dikaji riwayat hidupnya, sebenarnya Gandhi pd awal mula bukan orang istimewa. Ia canggung, pemalu, dan tdk menonjol dalam pelajaran di sekolah. Sepertinya tak ada bakat khusus yg melekat pd dirinya. Mula pertama menjadi pengacara di India, ia juga tak begitu berhasil.
Setelah menetap di Afrika Selatan, memperjuangkan hak-hak warga India di sana, ia berhasil menempa diri menjadi pribadi yg tangguh- sekuat granit- yg berkomitmen penuh pd nilai-nilai kebenaran dan pantang kekeasan. Dengan rekun belajar, rajin introspeksi disertai disiplin tinggi, ia mampu mengangkat diri sbg pemimpin bermartabat yg berusaha menyatukan pikiran dgn perbuatan.
Agaknya Gandhi adalah manusia paradoksal. Di satu pihak ia lemah lembut secara fisik dan pantang kekerasan, tetapi dipihak lain ia pribadi pantang menyerah, berani masuk keluar penjara. Ia suka merenung, menuangkan pikirannya dalam tulisan, yg jika dikumpulkan dapat mencapai 80 jilid, tetapi serentak dgn itu dia adalah manusia tindakan. Ia idealis, tetapi pd saat bersamaan memperhitungkn realitas medan utk mencapai tujuan.

Tujuh Dosa Sosial
Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yg membuat orang terceung, seperti "anda mesti menjadi perubahan yg anda ingin saksikan". Atau, "ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pd betapa pedulinya dia pd penduduknya yg palin rentan/lemah. Gandhi tak hanya bicara yg bagus-bagus, tetapi berdiri di garda depan membela kaum paria, kelompok paling rendah, utk memperoleh status persamaan hak.
Namun, ungkapannya yg paling menggigit adalah : "Kekayaan tanpa Kerja", "Kenikmatan tanpa nurani", "Ilmu tanpa kemanusiaan", "Pengetahuan tanpa karakter", "Politik tanpa prinsip", "Bisnis tanpa moralitas", dan "Ibadah tanpa pengorbanan". Ia menyebutnya sbg tujuh dosa sosial yg mematikan.
Kalau kita melihat ke sekeliling, mencermati berbagai kejadian yg ditampilkan media atau menelisik ucapan atau gerak-gerik tokoh-tokoh (birokrasi, politik, bisnis, akademi), bandingkan perilaku mereka dgn ungkapan Gandhi. Sebagian tdk sama, tetapi sebagian lagi sepertinya punya kemiripan.
Dunia sepertinya sdh terbelah Sebagian cukup besar masih mempunyai nurani, kemanusiaan, karakter, prinsip, moralitas,mau berkorban dan berkarya. Sebagian lainnya karena berbagai faktor, seperti kemudahan kesempatan, rayuan kedudukan, pengaruh uang, bujukan sekeliling, atau tuntutan dari atasan, menjadi bergeser posisinya. Mula-mula bergerak ke wilayah abu-abu utk kemudian beringsut mendekati zona bebas nilai. Yg penting adalah menjadi pemenang, satu-satunya parameter yg dikedepankan utk menentramkan hati.
Gandhi sendiri seperti ditulis Richard Grainer, Commentary, 1983, bukanlah orang suci, sempurna, tanpa punya kelemahan pribadi. Ia misalnya mempunyai hubungan yg kurang harmonis dgn istri dan anak-anaknya. Gandhi juga lebih sering dan lebih banyak dikelilingi sejumlah besar pengikut dan kurang mempunyai rekan sederajat. Namun, terlepas dari berbagai kekurangan, ia orang yg terus berusaha, dan ini yg membuat kita kagum kepadanya.
Agaknya, pd zaman kelabu ini, relevansi ajaran Gandhi menjadi bertambah kuat. Di tengah kebimbangan, dia dapat menjadi bintang petunjuk yg memberi arah yg tepat.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar