Kamis, 23 September 2010

Kapan Penyiksaan Terhadap Anak-Anak Akan Dihentikan?

Tidak ada yg bisa mencegah ketika Budi Kusmanto (26) tiba-tiba menghajar keponakannya yg masih berusia dua tahun, Anita, dgn balok kayu, Rabu (25/6). Anita, balita malang ini, langsung terkulai. Punggungnya tampak terluka parah akibat digebuk menggunakan balok kayu sepanjang 60 sentimeter sebanyak sembilan kali.
Usaha ibunya, Ny Erna, utk segera membawa anaknya ke RS daerah Pasar Rebo, Jaktim, tak membuahkan hasil. Bayi itu melepaskan nafasnya yg terakhir, tak lama setelah tiba di rumah sakit.
Tatkala ditanya wartawan, Budi menyebutkan bahwa ia memukul keponakannya karena iri, gara-gara ibunya, Ny Nana (nenek Anita), serta saudara-saudaranya, termasuk Ny Erna, lebih memanjakan Anita. tdk terima kenyataan itu, pengangguran lulusan SMU itu menghajar Anita. Tewasnya Anita, bocah berumur dua tahun, warga gang Mawar, Psr minggu, Jaksel, menambah panjang daftar kasus pembunuhan anak di Jakarta dan sekitarnya.
Utk kesekian kalinya masyarakat tersentak akan sebuah kenyataan bahwa dari hari ke hari, tewasnya anak akibat kekerasan, baik oleh orang dewasa maupun oleh teman bermainnya dalam kasus-kasus tertentu, terus terjadi.
Pengakuan Budi bahwa ia merasa lega setelah Anita terbunuh karena "pesaingnya" telah tiada benar-benar menggetarkan seluruh pilar perasaan. Anita yg sehari-hari ceria dan seharusnya masih menikmati indahnya masa anak-anak kini telah tiada. Ia bukan hanya kehilangan masa anak-anak, tetapi telah kehilangan hak hidupnya.
Polisi kini sdg menyelidiki dugaan bahwa Budi menderita gangguan psikis, yg pd akhirnya membuatnya tega menganiaya keponakan. Kepala Polsek Metro Psr Minggu, Komisaris Didik akan memastikan kondisi kesehatan Budi dgn meminta bantuan psikolog. "Sedang diupayakan ke sana. Saat ini sdg dalam proses. Kami harus hati-hati utk menentukan bagaimana kondisi psikis seorang tersangka, ujarnya.
Menurut catatan Z Post, kasusu Anita setidaknya menjadi indikasi bahwa masalah pengangguran yg bermuara pd persoalan ekonomi, berpotensi menjadi salah satu sebab penganiayaan terhdp anak, yg berujung pd kematian.
Budi, yg setelah lulus SMA tak meneruskan ke bangku kuliah, menjadi pengangguran karena kalah bersaing dgn pencari kerja lainnya. Ia merasa tersisih karena tdk produktif.

JIKA diurut-urut, cukup panjang daftar peristiwa penganiayaan terhadap anak kecil yg tak berdaya. Diantaranya terjadi pd 10 Mei 2003. Bayu Setiawan, yg belum genap tiga tahun, ditemukan tewas di gubuk orang tuanya di tepi kali Sekretaris, Kedoya, Jakbar. Tubuh korban penuh luka dan bekas sundutan rokok. Polisi menduga Bayu tewas setelah dianiaya Jumiati, ibu tirinya.
Ayah kandung Bayu, Bejo, kpd Polisi mengatakan bahwa terakhir kali Bayu bersama istrinya. Bejo juga mengaku, ia dan istrinya sering terlibat cekcok. karena masalah ekonomi sebab penghasilannya sebagai pemulung tidak menentu.
Djalul Pinan (25), termasuk diantara pria yg suka melakukan kekerasan. Ia tega mendorong kencang ayunan bayinya hingga bayi itu jatuh membentur lantai. Tindakan ini ia lakukan hanya karena tdk tahan mendengar bayinya,, Rizki Djalul, terus menangis.

Kekejaman yg sama dilakukan Suheri (27) pd tanggal 14 April. Suheri diduga menganiaya hingga tewas anak tirinya, Fadilah (4). Penganiayaan terjadi di Bedeng Suheri di kampung Velbak, Pendongkelan, dekat persimpangan Coca Cola, kelapa Gading, Jakut.

Kejahatan atas Fadilah terungkap setelah pihak Rumah Sakit Islam Cempaka Putih menolak permintaan Suheri utk memberi keterangan bahwa korban meninggal akibat jatuh dari tangga. Pasalnya, korban yg sdh meninggal ketika tiba di RS itu tdk menunjukkan luka-luka orang yg jatuh dari ketinggian. Sebaliknya ditubuh korban terdpt luka memar dan bengkak, yakni di kepala belakang, perut, dan punggung. itu bukan kerena jatuh, tetapi karena pukulan benda tumpul.

APAKAH yg menyebabkan pria dan wanita dewasa demikian mudah melakukan kekerasan pd anak-anak kecil? yayat Supriatna, ahli tata kota, menyebutkan, sebagian warga Jakarta stress oleh pekerjaan, kehidupan ekonomi yg sulit, atau keadaan sekitar yg sangat menghimpit perasaan.
Fakta lain ialah, kepadatan Jakarta, yg menurut Gubernur DKI mencapai 14.000 penduduk per kilometer persegi, pd akhirnya membuat persaingan antar penduduk demikian sengit. Bahkan di daerah tertentu, seperti Tambora, Jakbar, dan Senen, Jakpus, kepadatan itu mencapai 20.000 penduduk per km persegi. Bagi mereka yg berkemampuan tentu tak masalah karena dpt memenangkannya.
Namun, bagi yg tak mampu, apakah itu karena betul-betul tdk mampu atau tdk berkesempatan karena tak punya biaya, mereka akan tersisih, termarjinalkan oleh keadaan yg menghimpit. Jika perasaan kalah dan terpinggirkan ini tak segera teratasi, dmpaknya bisa panjang karena akan menjadi gumpalan kekesalan seperti dialami Budi Kusnanto.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi menyebutkan, dari pemantauan dan percakapan dgn banyak orang tua, ia menduga 50-6- persen orang tua melakukan kekerasan terhadap anak (child abuse)
Bentuk kekerasan yg paling sering, seperti kata-kata kasar (bodoh, kamu besok tidak akan menjadi apa-apa) sampai jeweran dan pukulan. "Ini sangat memprihatinkan," katanya, dalam sebuah kesempatan.
Pandangan Yayat Supriatna dan seto Mulyadi tentu benar. Akan tetapi, jalan keluar utk memecahkan masalah ini tentu mutlak dilakukan. Kekerasan atas sesama manusia amat terlarang, apa lagi terhadap anak kecil yg tdk berdaya. Repotnya, tdk banyak diantara kita yg memikirkan terobosan utk menghentikan semua bentuk kekerasan terhadap anak-anak. Tidak banyak yg memikirkan regulasi yg yg riil dan aplikatif utk segera menumpas segala bentuk kekerasan tsb.
Daftar anak-anak kecil, yg menjadi korban kebuasan orang dewasa sdh terlampau panjang. Masih perlukah diperpanjang lagi? Kapan penyiksaan terhadap anak dihentikan? Orang tua atau orang dewasa, digambarkan sastrawan besar Khalil Gibran sbg busur dan anak-anak itu adalah panah.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar