Selasa, 07 September 2010

Achdiat, Kenangan yg Berkesan

Achdiat Karta Mihardja, salah seorang sastrawan besar Indonesia angkatan 45, telah tiada. Pengarang ini meninggal pd usia 99 tahun di Canbera, Australia. Generasi Muda Indonesia mungkin tdk banyak yg tahu , bahkan mungkin baru mendengar namanya saat berita kematiannya beredar di media elektronik, kecuali para mahasiswa jurusan sastra Indonesia tentunya.
Mengenal Achdiat atau Aki adalah mengenal sosok yg idealis, penuh semangat, tetapi sederhana. Dr George Quinn, Kepala the Southeast Asia Centre, Faculty of Asian Studies., the Austrlian National University, yg merupakan seorang ahli bahasa Indonesia dan bahas Jawa mengatakan bahwa Aki merupakan teladan baginya. Aki selalu bersemangat dan produktif. Di usia 94 tahun, Aki masih meluncurkan buku manifesto Khalifatullah. Aki sangat idealis dan selalu berpegang teguh pd cita-cita yg menggerakkan revolusi Indonesia, yg menggerakkan kemerdekaan Indonesia. Aki sering mempertanyakan kenapa semangat 45 seakan sdh hilang di Indonesia? Sudah sulit menemukan orang yg idealis di Indonesia.
Aki mengajar kesusasteraan Indonesia di The Australian National University sejak tahun 1961 hingga pensiun. Dr.Quinn banyak belajar kesusasteraan Indonesia dari Aki. Menurutnya, Atheis, roman karya Aki yg diterbitkan pertama kali tahun 1949, benar-benar merupakan suatu adikarya sastra. Atheis mempunyai kekuatan besar dlm hal orisinalitas cerita dan menggambarkan kematangan dalam berpikir. Roman itu melihat manusia sbg makhluk yg kompleks. Hasan, sang tokoh utama, merupakan orang muslim. Karena pergaulannya dgn Rusli yg Marxist, Anwar yg individualis, dan Kartini yg modern, terjadi pergulatan batin dlm diri Hasan, tetapi akhirnya Hasan kembali kekeyakinan semula.

Suka Diskusi
Dr Iwu Dwisetyani, seorang pengajar dan peneliti di the Australian Demographic and Social Reseach Institute, the Australian National University, mulai mengenal Aki saat dia mulai S-3 pada pd tahun 1992, saat Aki msh berusia 81 tahun. Saat itu Aki msh aktif menulis dan sering berdiskusi dgn mahasiswa, baik kalau diundang ke kampus maupun saat mahasiswa datang ke rumahnya. Aki suka berdkusi tentang politik dan perkembangan sastra di Indonesia. Sampai sekitar usia 92 tahun, Aki msh mandiri, tinggal berdua dgn istrinya. Di usia itu Aki juga masih produktif dan ingin menyelesaikan otobiografinya. Namun, Aki sering prustasi karena ketajaman matanya sdh sangat berkurang dan tdk bisa menulis secepat apa yg dia pikirkan.
Saya sendiri bertemu Aki pertama kali di hari ulang tahunnya yg ke-90. Dalam beberapa kali pertemuan, Aki selalu menuturkan jika dia masih ingat berkontribusi utk Indonesia, tetapi kondisi fisiknya sdh tdk memungkinkan lagi. Pertemuan itu membuat saya ingin membaca kembali karya-karyanya yg lengkap berjajar di perpustakaan Menzies, the Australian National University. Beberapa karya Aki yg telah diterbitkan antara lain Dram Bentrokan Dalam Asrama (1952) dan Pak Dullah in Extremis (1957). Kumpulan cerpen yg telah diterbitkan adalah Keretakan dan Ketegangan (1956), Kesan dan Kenangan (1961) dan Belitan Nasib (1975).
Dongeng tentang si Kabayan Nongol di zaman Jepang diterbitkan tahun 2005, sedangkan kumpulan dongeng , cerpen dan novelet pentasnya diberi judul Pembunuh dan Anjing Hitam (1977). Novel Aki yg mengambil setting di Sydney, Australia, berjudul Debu Cinta bertebaran, diterbitkan pertama kali pd tahun 1973. itulah karya-karya indah Aki.
Dalam buku Satu Pembicaraan Roman Atheis (1961) karya Boen S Oemarjati, Aki mengatakan bahwa dia tdk pernah mempelajari teknik penulisan secara khusus, tetapi mempelajarinya langsung dgn membaca dan meneliti karya bermutu dari penulis besar dunia, seperti Shakespeare, Bernard Shaw, Tolstoi, Faulkner, dan Andre Gide.
Bagi saya sendiri, roman Atheis melukiskan pencarian seorang manusia dalam hubungannya dgn Yg Maha kuasa, yg diungkapkan dalam situasi yg begitu pelik dgn alur pulang balik, pilihan kata yg apik, dan akhir cerita yg cukup sulit utk dibidik. Aki pintar memilih kata-kata utk menghidupkan tokohnya dan meletupkan konfliknya.
Aki punya pandangan positif dalam melihat masa yg akan datang. Semangat Aki yg luar biasa juga terlihat dalam buku Polemik Kebudayaan, perdebatan ttg kehidupan jiwa dan kebudayaan bangsa yg merupakan pikiran delapan tokoh besar Indonesia, yg diterbitkan pertama kali tahun 1948. Aki mendukung paham positivisme Auguste Comte : mengetahui utk dpt melihat serta bertindak ke arah masa depan, dgn menggunakan budi dan pikiran menyiasati segala kenyataan.
Puisi ini saya tulis utk Aki. Saya bangga pernah mengenalnya : sosok sastrawan besar yg sederhana tetapi memancarkan kemilau makna.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar