Sabtu, 12 Juni 2010

Nostalgia Makan Di KAMPUNG

Mengisi perut tak sekedar mencari kenyang. Tren bisnis restoran kini makin memanjakan pelanggannya dgn tatanan khas nan nyaman. Resto bergaya rumahan, kampung halaman, atau pasar pecinan biasa jadi pilihan.

COBA datanglah ke Eat and Creating Food Adventurer di Mal Kelapa gading 5.

Di bagian muka, anda akan menemukan tempat cukur “Pangkas Rambut Rapih” yg bergaya kuno. Pengunjung yg mau cukur saja bayar Rp. 15.000. Tetapi, yg mau cukur dan nyapu, cukup bayar Rp. 7.000. Sapu lidinya sudah disiapkan di samping meja cukur.

Meja kayu dan kursi cukur terlihat sangat kuno. Kesan zaman dulu (zadul) makin terasa karena ada beberapa kosmetik rambut yg berjaya pada tahun 1970-an juga dipajang di sana.

Tempat cukur ini memang cuma interior yg membuat suasana di Eat and Eat terlihat seperti pasar pecinan tempo dulu. Kedai-kedai makanan berjajar di tengah maupun di tepi areal seluas 2.350 meter persegi itu. Seluruh interior menggunakan kayu tua yg memang di cari khusus dari sumatera dan Jawa.

Genteng, pintu tua, dan kurungan ayam yg digantung di langit-langit menambah suasana di tempat makanan itu seperti pasar. Hiruk pikuk pasar akan semakin terasa saat jam makan ketika konsumen berdesakan datang.

Sekilas, suasana di Eat and Eat mirip dgn Food Republik di Vivo City, Singapura. Namun, interior Eat and Eat jauh lebih bervariasi karena memang budaya dan Tradisi Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Singapura.

Soal makanan, di tempat ini ada kedai makanan dan warung kopi. Juga ada gerobak-gerobak cemilan tempo dulu, yg bisa memuaskan rasa kangen.

Menurut Deni A Rahman, General Manager Eat and Eat, makanan yg ingin ditonjolkan adalah makanan tradisional, baik itu Indonesia maupun Asia. Ada makanan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

"Konsep kami bukanlah makanan siap saji. Kira-kira kelasnya itu di atas food court, tetapi bukan restoran," kata Deni.

Untuk bisa makan di sini, konsumen harus memakai kartu khusus, baik yg berlaku satu bulan maupun yg berlaku selamanya. Konsumen bisa mengisi ulang kartu itu.


Waroeng Solo

Salah satu restoran gaya kampong bisa ditemukan di jalan Madrasah No. 14 tak jauh dari kompleks pemakaman umum jeruk purut di kawasan kemang, Jakarta Selatan. “Joglo at Kemang”, tulisan di gapura utama, segera menyambut pelanggan sebelum memasuki area luas dgn tiga joglo atau rumah khas solo dan satu gedung serba guna.

Joglo pertama yg terlihat terkesan begitu ndeso. Papan-papan dinding kayu dibiarkan berwarna kusam, jendela-jendela lebar terbuka, dan di emperan di bawah naungan atap terdapat sederet mesin jahit yg bagian atasnya dimodifikasi ditutup dgn marmer dan difungsikan sebagai meja. Meja mesin jahit ini dipadukan dgn dingklik atau kursi kayu panjang. Rumah ndeso inilah waroeng solo yg khusus menyediakan makanan khas solo.

”Sugeng rawuh, monggo pinarak mbelet (Selamat datang, silahkan masuk),” demikian sapa para karyawan warung ini setiap kali menyambut tamu. Saat menanyakan menu pesanan pun, bahasa jawa halus digunakan. Bagi yg tidak paham bahasa Jawa, para karyawan dgn senang hati segera berbahasa Indonesia.

Memasuki ruang tengah warung ini dijumpai beberapa meja mesin jahit dan dingklik serupa. Pilar-pilar penyokong joglo sekaligus menjadi tempat bergantungnya kaleng-kaleng kerupuk. Di dinding joglo terpampang aneka foto dan lukisan jadul, antara lain, foto mantan Presiden RI Soekarno, koleksi si empunya warung.

Di sebuah papan di pojok ruangan tertulis menu spesial hari itu, sayur lodeh, irisan terong, buah melinjo, daun melinnjo, dan sayuran lain dimasak dalam kuah santan yg gurih di santap dgn nasi pulen ditambah sambal.

Di atas meja besar di ruang tengah tersedia aneka sayur, nampan-nampan berisi makanan ringan asli Solo, sampai aneka kerupuk. Ada lebih dari 20 menu masakan yg tersedia.

”Menu spesial atau yg paling laris di sini nasi liwet. Selain itu, ada salad solo yg banyak ditanyakan pelanggan,” kata Usnul Chotimah, pengelola Waroeng Solo.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar