Senin, 17 Mei 2010

Menyoal MORAL Dan POLITIK

Beberapa waktu yg lalu, pemerintah, melalui Kementrian Dalam negri, memperkenalkan gagasan yg penuh Kontroversi. Walaupun masih merupakan gagasan awal, Kementrian Dalam Negri berkeyakinan, perlu ada pasal khusus yg menyebutkan pentingnya para calon kepala daerah itu bebas dari “perbuatan moral tercela”.
Reaksi keras segera berdatangan mengecam pikiran aneh itu. Sebaliknya, di beberapa tempat, dukungan terhadap gagasan itu juga berkumandang.
Secara tersirat, gagasan itu muncul sebagai reaksi terhadap munculnya sejumlah kandidat dalam pilkada di beberapa daerah yg diduga ”bermasalah secara moral”. Kecemasan para pengusung gagasan ini adalah kandidat yg bermasalah secara moral itu berhasil memenangi pilkada.
Ikhwal yg diperkarakan pada pokoknya bersumber pada pertanyaan moral yg sangat klasik, yaitu apakah mereka yg, misalnya, pernah terlibat dalam skandal asmara masih memiliki hak moral untuk menjadi pemimpin? Dalam konteks yg hampir serupa juga muncul pertanyaan, apakah mereka yg pernah tertangkap tangan terlibat dalam perjudian itu pantas mencalonkan diri dalam pilkada? Atau, apakah seorang bekas pengguna Narkoba pantas menjadi seorang walikota?

Prasyarat Mutlak

Integritas moral adalah prasyarat mutlak yg harus diperhatikan dalam memilih pemimpin. Saya akur dengan pikiran itu, tetapi ketika percakapan tentang perkara itu diambil oleh sebuah rezim yg berlindung di balik otoritas negara (baca : undang-undang) sebagai hakim yg membuat penilaian dan keputusan, publik harus berkeberatan.
Saya menolak gagasan bahwa negara dapat dan atau boleh masuk ke wilayah otonom yg sesungguhnya merupakan bagian dari masyarakat.
Oleh karena itu, tidak boleh ada sebuah pikiran sekecil apa pun untuk ”menegarakan” wilayah otonom masyarakat itu. Dengan menggunakan jargon ”demi kemaslahatan publik” atau ” demi tegaknya moralitas masyarakat” sekalipun, tidak boleh kita biarkan sebuah rezim merengutnya dari kita dan membawanya ke dalam wilayah negara.
Memang, selalu ada kontestasi di antara dua wibawa dan atau yuridiksi itu. Walaupun begitu, aturan dasar tentang pembagian dua wilayah pengaruh itu cukup jelas. Negara mengurus wilayah publik dengan sokongan konstitusi. Produknya adalah sesuatu yg mengikat, seperti undang-undang, regulasi atau kebijakan.
Sebaiknya, masyarakat berurusan dengan wilayah privat dan inter-privat: mulai dari urusan cinta dan membangun rumah tangga hingga pendidikan anak-anak dan adat perkawinan. Juga, soal apa yg dianggap baik atau buruk, pantas atau seronok, patut atau tercela. Melalui nilai-nilai, etika, dan moral serta norma-norma sosial lainnya, masyarakat memelihara kohesi sosial di antara para warganya.
Seperti juga warga negara lain di republic ini, saya senang dan setuju bila para pemimpin di negeri ini memiliki integritas moral yg kuat. Namun, pertama-tama bukan pada soal yg bersifat pribadi, tetapi pada soal-soal yg beranah publik.
Untuk saya, seorang politikus pertama-tama haruslah memiliki ikatan moral yg kuat pada ihwal publik, seperti memastikan bahwa ia tidak pernah menyalah gunakan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadinya, dalam semua bentuknya, tidak hanya memperkaya diri dan atau keluarganya. Atau, sebagai misal yg lain, ia tidak pernah terlibat, langsung ataupun tidak, dalam merayakan gagasan antidemokrasi, anti-pluralisme.
Atau, sebagai misal lainnya lagi, ia tidak pernah melecehkan gagasan tentang persamaan gender. Untuk saya, ini semua adalah soal moral yg lebih fundamental dari pada, misalnya, apakah seorang kandidat pernah terlibat perjudian atau narkoba, apalagi ketika di masa mudanya.
Terlibat di dalam perjudian atau narkoba adalah soal hukum. Itu perilaku buruk, memang. Tidak pantas ditiru. Itu jelas dan memiliki sanksi pidana yg dapat berimplikasi pada pencalonan seorang kandidat. Namun, meremehkan muatan moral yg lebih fundamental dan menggantikannya dengan soal-soal yg lebih instrumental, seperti gosip tentang kehidupan pribadi seorang kandidat, menurut saya, itu adalah awal bencana dari semua masalah moral.

Perkara Moral
Saya piker, semua pemilih tahu apa yg terbaik untuk mereka. Mereka juga ingin memastikan bahwa pemimpin yg mereka pilih adalah yg terbaik dari yg mungkin. Meremehkan bahwa rakyat memiliki kapasitas untuk menimbang, menurut saya adalah perkara moral yg sangat besar. Merengut kebajikan itu dari tangan pemilih untuk diserahkan kepada KPU, misalnya, adalah soal moral yg lebih besar lagi.
Biarlah pemilih yg menentukan apa yg terbaik menurut mereka. Termasuk dgn resiko bahwa keputusan itu salah. Demokrasi adalah sebuah proses. Ada pematangan, ada pembelajaran.
Di atas semua itu, demokrasi juga menyediakan koreksi dan control. Semua itu adalah esensi paling penting dalam demokrasi, yaitu pelibatan rakyat dalam pembuatan keputusan public. Mari kita jaga roh itu. Jangan biarkan seseorang, untuk dan atas nama moral sekalipun, merampasnya dari kita. Ini adalah soal pokok hidup kita karena sesungguhnya apa yg bernilai moral selalu datang dari kita, bukan dari negara.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar