Jumat, 02 Juli 2010

Menyoal Kebebasan

KONTROVERSI karikatur Nabi Muhammad beberapa waktu lalu dan RUU APP menimbulkan pertanyaan tentang arti kebebasan.
Ide tentang kebebasan merupakan warisan abad Pencerahan. Abad ini ditandai dgn gerakan pemikiran yg menekankan reason sebagai kekuatan yg memungkinkan manusia memahami-dan mengendalikan-dunia. Kemjuan masyarakat diyakini tergantung pengetahuan yg berasas nasionalitas lewat jalan logika maupun observasi. Radikalisme melahirkan ekspektasi budaya yg menganggap moralitas dan kebenaran harus berdasarkan reason. Ekspektasi ini menjadi inspirasi utama revolusi Amerika (1776) dan Perancis (1789) yg menghancurkan otoritas agama dan tradisi, melahirkan cikal bakal demokrasi.
Sejak lama reason dan human agency dipersoalkan. Pertanyaannya, apakah berpikir rasional merupakan fondasi utama pengetahuan dan orde sosial? Jawabannya, manusia lebih terlibat dunia sosial dan material. Reason tdk pernah terbebas dari konteks sosiohistoris, sedangkan keagenan manusia kalah penting dibanding dgn bentuk subyektifitas yg lebih tinggi, seperti ide absolut, kelas sosial, uncosciousness, languange game, difference atau hyperreality. Karena itu, kebebasan bukan sepenuhnya buah rasionalitas dan kedaulatan manusia. Kebebasan selalu subyektif, dipengaruhi sejarah dan kepentingan, sementara manusia tidak sepenuhnya otonom dan dikendalikan struktur di luar kesadarannya.
Secara khusus gagasan kebebasan berekspresi mengasumsikan manusia memiliki kesadaran yg bersifat esensial, utuh dan otonom. Kebebasan berbicara, misalnya, merupakan tanda yg merepresentasi kesadaran tertentu. Tetapi, sebenarnya berbicara lebih merdeka dari mistifikasi kesadaran. Karena harus dimediasi dgn bahasa yg memiliki logika pemberian arti pada kata atau ucapan di luar kendali manusia, seringkali manusia tdk mampu mengontrol pengertian dari apa yg ia bicarakan. Sebaliknya, manusia tunduk pada languange game. Di sini pengertian sebuah tanda tidak merunut konsep yg tertanam dalam kesadaran, tetapi tergantung konstruksi difference dan penolakan terhadap tanda lain. Dalam pengertian ini kebebasan berbicara mungkin ada, tetapi sebagian besar milik permainan bahasa tanpa batas.
Jika cara berpikir ini digunakan, upaya memperjuangkan kebebasan dalam kontroversi karikatur Nabi Muhammad menjadi problematik. Karikatur boleh dibela atas nama kebebasan. Tetapi, gambaran Nabi dan Konotasi Islam dalam gambar sulit dilihat sebagai karya yg bersumber dari kesadaran independen.
Dalam hal ini Islam sebagai terminologi marginal merupakan unsur penting proses pembentukan Barat. Tanpa Islam yg tradisional, terbelakang, dan kalah, Barat yg modern, maju, dan menang menjadi tidak logis. Di sini terminologi marginal justru mendekonstruksi identitas Barat yg hanya bisa hadir melalui proses negasi dan eksklusi.

RUU APP

Serupa dgn itu, menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) demi kebebasan jadi urusan yg kompleks. Penggambaran tubuh atas nama estetika yg otonom membesar-besarkan independensi kesadaran manusia. Seringkali makna estetika gambar yg didakwa porno dapat ditemukan dalam konstruksi ”seni” sebagai identitas yg menegasi dan membedakan dirinya dari ”cabul” Adapun porno terkait penolakan dan pembedaan atas apa yg dinilai estetika dan dibela sebagai kebebasan. Karena itu, perdebatan tentang makna porno dalam RUU bukan soal beda tafsir atas nilai-nilai atau kelemahan pengetahuan bahasa.

Lalu bagaimana nasib kebebasan? Mengatakan manusia sama sekali tidak otonom mungkin berlebihan. Ironisnya, manusia memerlukan subyektivitas, minimal utk memungkinkan kendali, misalnya, difference atas kesadaran atau subyetiviasi diskursus atas tubuh. Karena itu, kebebasan menjadi wilayah manusia menegosiasi kedaulatan dgn subyetivitas lebih tinggi.

Kebebasan bukan harga mati, tetapi proses ”menjadi” yg ditandai dialog dan tawar-menawar dan hubungan kekuasaan dan upaya memperjuangkan keadilan. Gagasan tentang kebebasan jangan terjebak universalisme yg mudah dikooptasi kekuatan hegemonik seperti kapitalisme, pun jangan mau dikungkung parokialisme dan menjadi alat kepentingan politik.[-O-]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar