Kamis, 18 Maret 2010

Kisah Gelisah Para Pembersih Kota

Dengan seragam kuning, handuk kecil, dan topi yg menutup kepala, Sumiyati menyapu jalan sejak pukul 13.00. Pekerjaan baru tuntas selepas pukul 21.00. Dengan delapan jam kerja, Sumiyati bisa menyelesaikan dua kali bolak-balik di rutenya. Tidak lupa, sebuah tong sampah dgn roda diseretnya di sepanjang jalan untuk menampung daun rontok, sampah plastik, atau bekas dagangan pedagang asongan yg numpuk di jalan. Dalam sehari, dua gerobak penuh terisi sampah.

Resiko kerja Sumiyati tergolong besar karena jalan yg harus dibersihkan merupakan jalur ramai kendaraan. "Kalau hampir terserempet, itu hal biasa. Apalagi kalau sedang ada pikiran. Kadang tidak sadar, saya berdiri agak ke tengah jalan," ucap Sumiyati yg setahun terakhir menjalani profesi ini.

Ketika ditemui, air mata Sumiyati berbaur dgn keringat yg membasahi wajahnya. Dia sedih mengingat sepuluh hari sebelumnya dia tidak bekerja lantaran sakit. Satu hari absen bekerja berarti kehilangan upah Rp. 20.000. Padahal, setiap rupiah amat berarti bagi keluarga yg menggantungkan hidup sehari-hari kepada Sumiyati.

Acu (41), suami Sumiyati, tidak lagi bekerja setelah tiga kali becaknya diangkut aparat. Anak sulung mereka-yg setahun lalu putus sekolah kelas II SMA-baru mulai bekerja dengan upah Rp.300.000 per bulan. Anak kedua duduk di kelas IV SD dan yg bungsu berumur 5 tahun.

Hasil keringat Sumiyati digunakan untuk hidup berlima, termasuk membayar kontrakan di daerah yg dikenal dgn sebutan kawasan Gambreng, di Kecamatan Johar Baru, seharga Rp.200.000 per bulan. Hidup dgn uang yg terbatas membuat Sumiyati terbiasa dgn hutang.

Kondisi serupa dialami Su"anah (55) penyapu jalan di kawasan Monas. Setiap hari, Su"anah diupah Rp.160.000. Untuk ongkos bus dari kontrakannya di Ciledung ke Monas, Su"anah harus merogoh Rp.5.000 sekali jalan. Artinya Rp.10.000 sudah hilang di perjalanan setiap hari.

Bila rematik pada kedua kakinya kambuh, Su"anah harus mengeluarkan uang Rp.6.000 utk membeli jamu asam urat, bahkan tiga kali berturut-turut. Tidak ada tambahan jaminan kesehatan bagi penyapu jalan.

Kalau sakit sudah parah, ya terpaksa istirahat dulu di rumah," ujar Su"anah. Dua anaknya masih bersekolah, masing-masing kelas III SMA dan II SMA. Untuk biaya pendidikan seorang anak, ibu empat anak ini harus membayar Rp.100.000 per bulan Belum lagi uang yg dibutuhkan untuk membayar kontrakan sebesar Rp.450.000 setiap bulan.

Anaknya yg tertua belum genap sebulan bekerja di Tanjung Periok. Pekerjaan untuk anak tertuanya itu diperoleh dari kebaikaan hati seorang bapak yg kerap disapa Su'anah di Monas. Anak kedua bekerja di rumah makan dengan gaji yg cukup untuk dirinya sendiri.


Belas Kasihan Orang.

Sulit membayangkan, para penyapu bisa hidup dari upah mereka. Su'anah, misalnya,.memprioritaskan upah yg diterimanya untuk makan dan sekolah anak-anaknya. Saat bekerja, dia makan dan minum dari belas kasih orang.

Bila ada demonstrasi besar, pak Mandor menyediakan nasi untuk makan pagi dan sore hari. Hal serupa terjadi seusai perayaan Tahun Baru. Pada Tahun Baru, Su'anah juga mendapatkan tambahan uang Rp.15.000. Bonus itu diterima seiring dengan banyaknya volume sampah dibandingkan hari-hari biasa.

Di luar saat-saat itu, makan dan minum menjadi tanggung jawab para penyapu. Seringkali rasa lapar terpaksa ditahan karena belum ada rejeki hari itu. Baik Su'anah maupun Sumiyati tidak pernah meminta minta, tetapi kebaikan hati orang yg lewat di sekitar mereka membantu kehidupannya.

Seperti ketika Sumiyati tengah menyapu jalan, sebuah mobil berhenti di sisinya. Seorang remaja mengulurkan sekotak nasi kepada Sumiyati.. Nasi itulah makan siang Sumiyati hari itu. Maklum jatah makannya sudah termasuk upah yg diterima. Begitu pula dgn Su'anah. Kebaikan hati orang yg berolah raga di Monas rezeki baginya. Uang di kantong sering enggak cukup buat makan atau sekadar beli minum. Kalau enggak ada orang yg ngasih, kadang saya juga tidak makan," ucap Su'anah.

Keramahan hati Su'anah merupakan modal baginya meraih simpati orang-orang yg lewat. Saat telah menghampirinya, Su'anah duduk di rerumputan sembari menyapa orang yg lewat.. Beberapa diantara mereka sudah mengenal Su'anah dan kerap memberikan uang atau menjajankan minum atau makan. "Ada juga polisi yg baik pada saya. Dia sering membelikan nasi," katanya.


Tergantung Perusahaan.

Nasib Su'anah, Sumiyati dan ribuan penyapu jalan lain di Jakarta, sepenuhnya ditanggung perusahaan yg menyediakan jasa penyapu jalan. Oleh karena itu, upah harian yg diterima masing-masing orang juga berbeda. Dinas kebersihan DKI Jakarta mencatat 5.333 pekerja lepas kebersihan pada akhir Desember 2008. Memang ada 2.174 pegawai negri sipil dan 141 pegawai tidak tetap di dinas kebersihan. Namun, mereka umumnya bekerja di dalam kantor walaupun ada pula yg terjun langsung menjaga kebersihan di DKI Jakarta. Adapun volume sampah yg dihasilkan tidak kurang dari 6.500 ton setiap hari. Jumlah ini bisa melonjak jika ada aktivitas di ruang publik.

Sampah itu jadi tanggung jawab Su'anah, Sumiyati dan teman-teman lainnya. Mereka rela merawat kebersihan di Jakarta kendati dengan balas jasa sebatas apa adanya.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar