Selasa, 22 Maret 2011

NGAWUR

Ngawur adalah suatu sikap atau tindakan yg dianggap tidak memenuhi kepatutan logika kebiasaan atau aturan yg secara umum disepakati atau dianjurkan karena dianggap baik dan benar. Di suatu masyarakat yg menghargai ketertiban dan aturan, tindakan ngawur sedapat mungkin dihindari. Tindakan ngawur dapat menimbulkan resiko bagi diri sendiri atau orang lain.
Masyarakat yg menghargai ketertiban dan aturan tdk menyukai tindakan ngawur, karena segala ukuran perilaku umum yg dianggap layakmenurut asumsi kebiasaan dan aturan telah ditera dan dijalani bersama sebagai sebuah kepatutan. Contohnya banyak. Kentut di muka umum itu dianggap tdk patut. Kencing di sembarang tempat dianggap tdk baik buat orang tahu adab. Menjitak kepala orang tua juga dianggap tindakan ngawur. Ngeyel asal ngeyel demi ngeyel termasuk tindakan ngayur juga. Persis sama seperti sikap “pokoknya.” Pokoknya tdk setuju, misalnya. Masalahnya bukan terletak pd hal “tidak setuju”, tetapi pada hal “pokoknya”. Dalam prinsip “pokoknya” terselip sikap dasar mata gelap ngawur.
Tapi sekarang, sikap dan tindakan ngawur itu telah menjadi cirri bersama yg telanjang di muka umum. Sikap dan tindakan ngawur-perilaku ngawur-ngawuran-cenderung dianggap sebagai perilaku biasa. Ngawur tak lagi dianggap aneh. Tak ada anggapan keliru bagi tindakan ngawur yg mestinya dicela secara umum. Perilaku sembarangan berlalu-lintas yg awur-awuran di kota Jakarta, misalnya, tentu tak dapat diklasifikasikan sebagai cermin masyarakat beradab yg menghargai ketertiban dan aturan. Apa pun alasannya, cara berlalu-lintas di Jakarta dapat dikategorikan sbg chaos yg tak ketulungan.. Hukum, aturan, dan sopan santun berlalu lintas tak lagi banyak digubris. Tetapi pengabaian hukum, peraturan, dan sopan santun-semua orang tahu tak hanya terjadi di jalanan. Ngawur itu telah menjadi gejala umum. Gejala anomali umum telah menjadi penyebab atau ekses publik, mengapa yg ngawur tak lagi dianggap ngawur. Yg keliru dianggap normal, yg salah bisa jadi benar. Yg aib dianggap wajar, yg paling buruk pun tak lagi dianggap sbg gangguan. Ngawur dianggap perlu!
Ngawur sebagai suatu cara menjadi tindakan terpilih (preferable) demi kepentingan menggantang untung. Padahal di dalam suatu masyarakat yg sungguh-sungguh normal, keadaan (kultur) ngawur seperti itu sudah harus menjadi tanda bahaya bersama akan terjadinya ekses degradasi sosial. Sinyal lampu kuning sudah harus lama berkedip-kedip, bila misalnya- di suatu negara yg mengaku diri tertib dan beradab ada terlalu banyak pejabat dan petinggi negara yg masuk penjara karena perkara pidana. Tapi di sini siapa yg peduli? Masak pemuka agama yg menjadi fungsionaris panutan negara masuk bui karena korupsi?
Panitia konstitusi pemilihan umum, sebagai manusia terpilih yg menjadi perhatian publik dan dianggap sukses melakukan tugas, malah bareng-bareng masuk bui semua karena terkena kasus korupsi. Pemimpin organisasi nasional di bidang olah raga paling populer mengendalikan kepemimpinan organisasinya dari balik jeruji bui. Kok seperti bos bandar narkoba yg mengatur bisnis gelapnya dari penjara hitam yg kelabu? Para bekas terpidana pun hendak diusulkan boleh menjadi kandidat terpilih dalam pemilihan umum. Apa untuk menjadi kandidat dalam pemilu itu tak perlu surat keterangan berkelakuan baik? Para jaksa, hakim, pengacara yg seharusnya menjadi pengatur praktek kebaikan regulasi dunia hukum dan keadilan- malah menghuni ruang-ruang bui yg mereka ciptakan sendiri bagi orang-orang yg seharusnya justru mereka hukum. Benar-benar absurb. Pejabat tinggi negara menganjurkan pembangkangan terhadap pemanggilan Komnas HAM- sementara orang ramai berteriak-teriak lantang setiap hari tentang etos HAM? Ngawur!
Derita bencana alam dan kemanusiaan malah dilihat sebagai proyek pembuka peluang menangguk untung. Hibah bantuan penderitaan orang lain ditilep buat keuntungan diri sendiri. Derita kemiskinan rakyat kebanyakan dikemas sebagai subyek kampanye politik partai demi kekuasaan. Manusia yg di depan publik sudah jelas tak becus menjadi pemimpin, malah getol dan bersemangat hendak mencalonkan diri untuk menjadi orang nomor satu Republik. Ngawur tenan!
Dengan mata telanjang semua orang tahu jungkir baliknya tawar menawar perilaku politik, hukum, dan bisnis ekonomi di bawah atap-atap rumah eksekutif, legislatif, dan Yudikatif. Bisnis dagang sapi perah politik-hukum dan ekonomi terjadi di ruang-ruang parlemen, lembaga departemen negara, dan ruang-ruang peradilan. Paradoks ketertiban sipil terjadi di mana-mana. Agenda politik, hukum, dan ekonomi menjadi tontonan proyek adu untung di ranah civic yg terbuka untuk disimak. Ngawur-ngawuran!
Tetapi ketika anda menyimak caci maki sumpah serapah-seperti tulisan ini misalnya- andapun tak lagi bereaksi. Semua telah menjadi biasa. Barangkali, kita orang sudah anomalously overloaded (sudah jenuh dgn hal-hal menyimpang)-sehingga hal-hal yg tdk normal dianggap menjadi barang biasa. Orang tak lagi gumun (terperangah) terhadap hal-hal yg semestinya dianggap aneh. Orang kehilangan orientasi terhadap baik-buruk, salah-benar, dan seterusnya-karena gejala anomali sbg ekses dari tak tercegahnya perilaku ngawur umum yg sdh berlarut-larut. Semua dibalik-balik seperti menjungkir kepala di bawah kaki. Humman error (kelalaian manusia) dibilang bencana alam. Orang tak mengerti, bahwa human error itu juga bencana. Untuk mengerti butuh kecerdasan. Utk bisa cerdas butuh latihan dan pendidikan yg baik dan benar. Tapi justru subjek itulah-pendidikan yg baik- yg tak kita miliki. Bagaimana orang mau jadi pintar? Mau ngawur terus? Waduh...ngawur umum itu bencana juga lho?[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar