Senin, 21 Maret 2011

Memaknai Perjuangan Kartini Kini

Merayakan hari Kartini 21 April, Komnas perempuan meminta seluruh jajaran pemerintah memperingati hari tsb dgn kegiatan yg dirancang utk mendalami perjuangan perempuan dan memberi penghargaan kpd perempuan di komunitas masing-masing.
Dengan demikian, peringatan hari Kartini tdk lagi dilakukan dgn mereduksi Kartini menjadi sekedar symbol tradisionalisme perempuan dgn, misalnya, kewajiban berkebaya dan lomba masak-memasak.
Komnas HAM Perempuan memperingati Hari Kartini di kantor Komnas Perempuan, Selasa (21/4), dgn merayakan perjuangan perempuan penyintas (survivor) dari berbagai kasus pelanggaran berat HAM dan penghilangan paksa yg sampai hari ini belum ada pertanggungjawaban dari Negara dan pelaku. Mereka ada yg menjadik 1965, Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, konflik Poso, korban peristiwa Semanggi 1988, hingga Suciwati yg pelaku pembunuhan suaminya, Munir, hingga kini belum diungkap Negara.
Siangnya, mereka dgn difasilitasi Komnas Perempuan, Kontras, Elsam, Ikohi, dan ICTJ berbagi pengalaman dgn dua anggota Ibu Plaza de Mayo, Argentina, yaitu Tati Almeida (79) dan Aurora Morea (84) yg berjuang dari 1976-2006.
Keduanya mewakili para ibu yg memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan ingatan utk tdk melupakan penghilangan paksa terhadap 30.000 anak dan anggota keluarga mereka pd tahun 1976-1983. mereka menutup kepala dgn kain segitiga bertuliskan nama anak mereka yg hilang dan memakai pin bergambar anak mereka.
Ketua subkomisi Pengembangan Sistem Pemuliha Azriana yg memandu diskusi pagi hari mengatakan, perayaan ini utk memberi ruang kpd para ibu penyintas yg terus berjuang menegakkan HAM dan demokrasi.
"Gerakan perjuangan belakangan agak jenuh karena negara lambat menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM. komna Perempuan inginmemberi energi baru kpd para Kartini ini, untuk meneruskan perjuangan mereka," kata Azriana.

Kekerasan Militer
Tinneke Rumbaku (66) dari desa Anggraide, Biak Numfor, Papua, misalnya, menjadi korban kekerasan militer karena dituduh membantu gerakan separatis. Para perempuan juga menjadi korban kekerasan dari komunitas dan keluarga yg menganggap perempuan korban ini membawa aib.
Ny. Netti (45), ibu dari dua putri, kehilangan suaminya, kepala Desa Paleru, Morowali, Sulawesi tengah, dalam konflik Poso. meskipun pengadilan telah mengadili pelaku, konflik meninggalkan persoalan keluarga yg jatuh miskin dan anak tdk bisa sekolah karena kehilangan ayah.
Taty Almeida dan Aurora Morea mengajak para ibu utk terus memperjuangkan pencarian keadilan dan kebenaran dgn terus menanyakan keberadaan anggota yg hilang. "Kita tdk boleh berhenti. Anda sdh 10 tahun berjuang. yg menggerakkan kami adalah kecintaan kpd anak-anak kami," kata Taty yg kehilangan anak laki-lakinya, Alejandro Almeida, mahasiswa kedokteran.
Aurora kehilangan anaknya, Susana, dan menantunya yg juga arsitek, serta saudara menantunya tahun 1976. dia ters mencari ke kantor-kantor pemerintah. Dalam mencari itu dia bertemu dgn 14 ibu pendiri yg berkumpul di Plaza de Mayo di depan casa Rosada, istana Presiden Buenos Aires, Argentina. Perjuangan itu antara lain menghasilkan komisi pencari fakta yg merekomendasikan pengadilan bagi pelaku penghilangan dan membukukan temuan mereka dalam buku "Tidak Lagi". Kini keduanya berjuang utk pendidikan dan kesehatan gratis serta penyediaan lapangan kerja.[-O-]Rata Penuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar