Rabu, 30 Maret 2011

Mereka Yang Lahir di Luar Harapan

Di TPU Genteng Keniten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo, anak laki-laki yg “dibuang” orangtuanya di Mangunsuman, Siman, Ponorogo, mengakhiri eksistensinya di dunia ini, Sabtu (7/3). Pukul 21.55, Jumat (6/3), nafasnya berhenti di RSUD Dr Harjono, Ponorogo.
Adanya benda asing berupa biscuit di dalam paru-parunya, disebut aspirasi, diperkuat hasil pengecekan laboratorium berupa leukosit yg tinggi sbg tanda adanya infeksi, menjadi penyebab meninggalnya anak itu.
"Sepertinya sebelum dibuang, anak itu dipaksa makan biskuit dalam jumlah banyak sehingga biskuit biskuit bisa masuk ke pau-paru. Mungkin saja anak diberi makan yg banyak supaya tdk kelaparan," kata Dr. Rony Julianto, dokter yg merawat anak itu di RSUD Harjono.
Di pinggir jalan raya Ponorogo-Kecamatan Pulung, persisnya di Kelurahan Mangunsuman, seorang anak malang tdk diketahui identitasnya ditemukan warga setempat meringkuk di dalam kardus bekas televisi, sekitar pukul 05.30, Jumat (6/3) Bersama anak itu terdapat sejumlah pakaian anak di dalam kantong plastik. Kondisinya sangat menggenaskan. Anak yg usianya diperkirakan sekitar enam tahun itu sangat kurus, beratnya tdk sampai 10 kg (normalnya bisa 20-25 kg). Pertumbuhan kaki dan tangannya tdk sempurna. Selain itu, dia tdk bisa ngomong. Dia hanya bisa menangis.
Menurut dr.Rony, anak itu cacat sejak lahir Itulah yg menyebabkan bentuk tangan dan kakinya tdk sempurna. Anak itu juga mengalami retardasi mental yg membuatnya tdk bisa berbicara. Bisa jadi, kondisi anak yg cacat inilah yg membuat orangtua atau keluarga anak itu tega membuangnya. Tentu dgn harapan ada orang lain yg menemukannya dan mau merawatnya. Namun, apakah hal itu suatu yg dibolehkan? Pasti tdk jawabannya.
Hal seperti ini bukan kali pertama terjadi. Tgl 23 Novenber 2007, ada pula anak yg kondisinya tdk sempurna, "dibuang" keluarganya di pasar besar, Madiun. Anak yg diperkirakan masih berusia sekitar tiga bulan itu berkepala sangat besar atau dalam bahasa medisnya terkena penyakit hydrocephalus berat. Anak yg kemudian diberi nama Nus Ahmad itu lalu dirawat di ruangan Melati RSU dr.Sudono, Madiun. Sampai kemarin,, Nur Ahmad yg lingkar kepalanya sampai 72 cm, atau dua kali lebih besar dari ukuran normal pada bayi seusianya, masih berada di salah satu ruangan di Melati.
Namun, ukuran kepalanya yg terlalu besar membuat gerak Nur sangat terbatas. dia hanya bisa menggerakkan tangan dan kakinya dalam posisi badan terlentang. Tdk bisa memiringkan badan ke kiri/kanan, merangkak, duduk, atau berjalan seperti anak lain seusianya.
Kehidupan Nur sekarang sepenuhnya bergantung pd kasih sayang perawat-perawat di ruang Melati yg secara bergantian merawatnya, menggantikan peran yg seharusnya diberikan oleh orangtuanya.
Sosiolog dari Univ. Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, menilai anak-anak yg lahir tdk sempurna yg dibuang orangtuanya ini termasuk kelompik yg kelahirannya tdk dikehendaki atau tdk sesuai dgn harapan orangtuanya. Orangtua lalu memilih membuang atau bahkan dalam beberapa kasus rela membunuhnya.
Anak-anak itu dianggap sebagai aib keluarga yg membuat orang tua atau keluarganya malu. Kasus ini terus terjadi di Indonesia karena orang tua anak atau pun keluarganya yg berpendidikan rendah sehingga memilih mengambil jalan pintas (membuang atau membunuh anak itu) utk menghilangkan aib tsb.
Disamping faktor pendidikan, menurut Dekan Fakultar ISIP Universitas Merdeka, Madiun, Bambang martin baru, ada pula faktor moralitas dan kemiskinan. Tdk dapat dipungkiri, kemiskinan menjadi faktor penghambat dominan bagi seseorang utk bisa memahami secara utuh tentang kehidupan.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar