Jumat, 12 November 2010

Demikian Parahkah Negri Ini?

Kesaksian mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak di Pengadilan Khusus Tipikor membuat kita bengong, tersentak, sekaligus mengurut dada.
Demikian parahkah negri ini?
Ya, pertanyaan itu segera muncul setelah membaca pernyataan Rusli. Rusli mengungkapkan, praktik BI memberikan uang tanpa tanda bukti utk berbagai urusan kepada anggota DPR sdh berlangsung sejak tahun 1970. Dana itu diberikan karena DPR menentukan "hidup" BI.
Kita tdk habis mengerti, mengapa bisa terjadi seperti itu. Belum lama ini mantan Ketua Subkomisi Keuangan di Komisi IX DPR, Hamka Yhandu , mengungkapkan, semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, berjumlah 52 orang, menerima dana dari BI.
Pernyataan itu mengagetkan. Kini Rusli lebih membuat kaget. Mengapa semua itu terjadi? Apakah jawabannya seperti yg dikemukakan Koentjaraningrat lewat bukunya, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, yg menyatakan hal itu terjadi akibat sikap mental masyarakat Indonesia yg suka "menerabas", sikap mental yg terkait orientasi hidup masa kini.
Terlepas dari penjelasan Koentjaraningrat itu, kita berpendapat bahwa pernyataan Rusli itu membenarkan ungkapan yg dikemukakan Hannah Arent, teoretikus politik asal Jerman, tentang korupsi sbg banality of evil (kekebalan kejahatan). Dalam bahasa yg sederhana mungkin disaebut ”kehilangan akal sehat, tdk menghiraukan etika dan pertanggung jawaban politik.”
Mereka hanya memedulikan kesenangan diri tanpa memedulikan norma-norma sosial. Dengan kata lain, mereka mengaburkan batas antara yg legal dan ilegal, yg boleh dan yg dilarang, yg etis dan tdk etis.

Tdk salah karena itu masyarakat berpendapat korupsi di Indonesia sdh menjadi kejahatan struktural, sebagai hasil interaksi sosial yg berulang, sistematis dan terpola. Secara lebih ekstrim bisa dikatakan korupsi sdh seperti mafia..

Kita berasumsi, andaikata tdk ada kesaksian Rusli, barangkali kita, masyarakat, tdk tahu apa yg sesungguhnya terjadi selama ini antara BI dan DPR. Atau mungkin kita mendengar, tetapi lebih sekadar mendengar kabar angin yg tiada bukti.

Dengan kesaksian Rusli itu, kini sulit dipungkiri bahwa praktek mementingkan diri sendiri, menghalalkan segala cara- meminjam istilah Niccolo Machiavelli- demi kepentingan diri atau kelompok lumrah dilakukan di negri ini. Padahal, semua orang tahu korupsi merupakan penghianatan terhadap bangsa dan negara. Korupsi juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan sipil dan politik. Korupsi ibarat kanker ganas yg menyerang organ vital kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, tdk ada cara lain kecuali diberantas sampai ke akar-akarnya tanpa pandang bulu. Hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya termasuk penegak hukumpun harus ditegakkan.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar