Minggu, 09 Januari 2011

Mereka Berharap Mendapat Kehidupan Yg Lebih Baik

HUJAN yg masih kerap turun di Jakarta saat ini bagai musuh bagi pedagang buah dingin dan rujak keliling. Betapa tidak, jika hujan turun, apalagi dalam waktu cukup lama, sebagian besar aneka buah dingin dagangan tak akan laku terjual, lalu harus dibuang percuma. Hawa dingin akan membuat konsumen malas membeli buah atau rujak racikan si pedagang buah keliling. "Sekarang usaha jualan buah dingin dan rujak makin susah," keluh Tarsan (36), pejuala buah dingin kawakan asal Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ia ditemui Selasa (21/4) pagi sat sedang memotong buah nanas di depan rumahnya.
Tarsan, yg sejak kecil berjualan buah dingin (mencoba menjual es cendol), merasakan manis-pahitnya menjadi penjual buah potong keliling. Selama sekitar 20 tahun menjual buah, kehidupan Tarsan bukan makin membaik, tetapi malah nyaris bangkrut. Awal tahun 2000, ia mempunyai delapan anak buah, kini hanya punya tiga anak buah. Maksudnya, Tarsan sempat menjadi bos, tetapi bukan berarti dia bisa duduk santai. Ia tetap bekerja keras ikut memotong buah, sekaligus mengontrol anak buahnya memotong aneka buah lalu ikut pula berdagang. Toh hasil usahanya selama dua dekade bisa disebut tak sepadan dgn kerja kerasnya. "Saya hanya punya sapi di kampung, tetapi Alhamdulillah, anak-istri kumpul di sini," tutur Tarsan.
Bagi pedagang buah dingin, berkumpul dgn anak istri merupakan kemewahan sebab biasanya utk mengirit biaya hidup, anak-anak dititipkan ke neneknya di kampung. Mereka tumbuh besar dan bersekolah di kampung.
Ini pula yg dilakukan keluarga Ujud (40), asal Desa Kebon, Kecamatan Sakaran, Kabupaten lamongan. Pasangan Ujud-Wiwik sdh sekitar 15 tahun berjualan buah dingin di Jakarta. Mereka mempunyai dua anak, Kiki (16) dan Bowo (14). Semula, kedua anak tsb ikut neneknya di kampung, bersekolah dari SD sampai SMP. Begitu lulus dari SMP, Kiki menyusul ayah dan ibunya ke Jakarta, Bowo masih bersekolah di sana. Namun, tak sampai setahun, bocah lelaki itu minta berhenti sekolah lalu ikut ke Jakarta.
"Bowo kasihan sama bapaknya, ia tak mau lagi bersekolah," tutur Wiwik yg ditemui di rumah kontrakannya yg sangat sederhana di sisi "TPU" Joglo, Jakbar (20/4). Kehidupan anak-beranak ini lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tak punya radio, televisi, apa lagi kulkas. Rumah kontrakan yg sewanya Rp.170.000 per bulan hanya diisi kasur ukuran sedang, lemari makan, seperangkat kompor gas hasil pembagian pemerintah, dan sebuah meja panjang.
Rumah petak yg terbagi menjadi dua bagian berfungsi utk dapur dan kamar tidur Ujud-Wiwik. Ruang bagian depan seluas 1,5 x2,5 meter menjadi tempat tidur anak-anak dan adik Wiwik. Di situ pula Ujud dan Wiwik mengiris buah untuk jualan esok harinya. "Kadang-kadang bingung dimana nyimpan buah yg sdh dibungkus karena tempatnya habis,"tutur Wiwik sambil tersenyum.
Situasi yg hampir sama tampak di kontrakan Suwoto-Ida, asal Tuban, di samping SPBU Joglo. Suwoto, yg menjadi penjual buah selama 15 tahun dan pernah menjadi anak buah Tarsan, mengaku hanya mempunyai simpanan sebidang tanah di kampung. "Jarang bisa nyimpan uang, sehari-hari penghasilan rata-rata Rp.50.000 habis utk makan dan ngontrak rumah. Mungkin inilah berkah utk saya," tutur Suwoto.
Untung Tipis
Menjadi pedagang buah dingin dan rujak menjadi pilihan banyak perantau asal Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan, semua di Jawa Timur. Awalnya, kata beberapa pedagang buah dingin dimulai oleh Sutopo asal Lamongan pada tahun 1980-an. Usaha Sutopo maju pesat. Ia memiliki banyak anak bauah, salah satunya adalah Tarsan. "Pak Topo sekarang sdh pulang kampung. Ia sukses berjualan buah dingin. Bisa naik haji dan punya sawah dari hasil usahanya," ujar Tarsan.
Jumlah penjual buah dingin lalu bertambah karena ada yg mengajak saudara dan kawan sekampung. Wilayah kabupaten Lamongan Tuban-Bojonegoro merupakan wilayah yg berdekatan di Utara pantai Jawa. Semula, seperti diakui Tarsan, bisnis buah dingin cukup menjanjikan karena harga buah seperti, pepaya, jambu, nanas, bengkuang, dan mangga, cukup murah. Potongan buah yg dibungkus plastik secara rapi itu dijual dgn harga Rp.200- Rp.1000.
Sejak tahun 2006, bisnis ini kurang menguntungkan. Harga buah naik terus, sementara pedagang tidak bisa menaikkan harga buah dingin sebab daya beli masyarakat merosot.
"Kami hanya bisa untung Rp.300-Rp.1000 per buah ," kata Suwoto. Keadaan itu masih diperburuk isu pedagang buah memakai pengawet utk membuat buah tetap segar. Mereka sangat terpukul oleh isu tsb, padahal keuntungan tipis itu tak banyak berarti karena belum karena mereka belum menghitung tenaga, plastik dan gula aren. Para pedagang hanya bisa berharap kehidupannya akan membaik.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar