Selasa, 08 Februari 2011

Bertumpuk di Bedeng Sempit Demi Rupiah

Taslim (24) biasa berdagangmakanan di kawasan Senayan, Jakarta. Sebuah kawasan yg menjadi salah satu pusat perekonomian yg ramai. Namun, seperti sebagian besar pedagang perantau, ia tinggal di bedeng sempit. Malah tak jarang Taslim harus berbagi ruang dgn perantau lain. Mereka rela berdesakan dalam ruang sempit tsb demi bisa berhemat agar uang sisa itu bisa dikirimkan ke keluarga mereka di kampung.
Laki-laki asal Brebes, Jawa Tengah yg berjualan nasi goreng itu mengontrak salah satu Bedeng di Grogol Selatan, kecamatan Kebayoran Lama, Jaksel. Bedeng itu hanya berukuran 2 meter x 2 meter dgn dinding tripleks dan seng. Untuk membayar uang sewa per bulan, ia harus merogoh kocek Rp.300.000.
Baru sebulan terakhir ini Taslim benar-benar "menikmati" privasi di bedeng sederhana itu bersama istrinya, Surki (21), sesama perantau Brebes yg dinikahinya delapan bulan yg lalu. Ia baru menyewa sendiri bedeng di perkampungan sempit itu setelah istrinya berhenti bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kebon Jeruk, Jakbar.
Sebelum itu, Taslim bersama empat perantau asal Brebes, yg juga berjualan nasi goreng, menempati satu bedeng berlantai tanah. Selain harus berbagi dgn temannya, di bedeng itu ia juga harus berbagi dgn perabot memasak serta beberapa pakaian yg tergantung. Banyak nyamuk, juga kecoak, tetapi bisa lebih irit," kata Taslim yg diiyakan istrinya, Surki, Jumat (4/2) petang.
Kondisi bedeng yg memprihatinkan itu tak terlalu dipusingkan oleh Taslim dan empat orang temannya, Tandis (23), Yakub (25), Warno (45), serta Suhari (20). Menurut Taslim, hanya 1-2 orang saja yg tidur di dalam bedeng dgn membentangkan tikar, sementara lainnya biasanya memilih tidur di dipan papan yg berada di luar bedeng.

Dimodifikasi
Kondisi lebih sederhana dialami oleh 25 pedagang tahu gejrot yg menyewa bedeng berukuran 3,5 meter x 8 meter, juga di Grogol Selatan. Mereka memodifikasi bedeng tsb dgnmembuatnya jadi "bertingkat". Lantai bawah berketinggian 165 cm dgn alas karpet tipis, sementara bagian atas dibuat dari rangka bambu dilapisi tripleks. Setelah itu baru dialasi dgn karpet kain.
Di rumah sewaan sangat sederhana itulah para perantau dari Cirebon, Jawa Barat itu, tinggal sehari-hari. Mereka tdk memedulikan masalah kenyamanan karena di rumah itu mereka sekedar merebahkan badan dan menutup mata sejenak.
Sumiah (41), penjaga bedeng itu menuturkan, mereka mulai berjualan selepas tengah hari. Pukul 22.00-23.00 barulah satu per satu pedagang itu pulang. Pagi-pagi mereka sdh harus menyiapkan dagangannya.
Sementara Taslim dan teman-temannya mulai mendorong gerobak nasi goreng menuju kawasan Senayan pukul 18.00. Setelah menjelang subuh baru mereka pulang utk rehat. Tengah hari mereka kembali harus memasak nasi dan menyiapkan bumbu nasi goreng.
Hasil yg didapat para perantau makanan keliling dari kerja banting tulang tidak menentu. Jika sedang bagus dan dagangan habis, bisa memperoleh omzet Rp.300.000 dgn keuntungan separuhnya.
Namun, kadangkala malah harus tombok karena dagangan tidak habis. "Kemarin cuma laku Rp.30.000. Padahal, harga-harga barang sekarang naik semua," tutur Surki.
Harga beras naik dari Rp.7.000 menjadi Rp.8.000 per kg. Harga cabai seperempat kr Rp.25.000, naik dari sebelumnya Rp.10.000. Namun, dia belumberani menaikkan harga nasi goreng Rp.8000 per porsi.
"Terpaksa dua bulan ini tdk bisa kirim uang ke kampung," tutur Surki. Sebelumnya dua bulan sekali suaminya bisa mengirim Rp.500.000. Tampaknya bayangan mudahnya mencari uang di ibukota, tak dirasakan mereka.[-O-].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar