Senin, 21 Februari 2011

Benarkah Indonesia Bangsa Yg Berbudaya Tinggi?

Indonesia selama ini disebut-sebut sbg bangsa yg ramah tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi. Pernyataan seperti itu sdh berulang kali kita dengar. Baik dari orang-orang Indonesia sendiri maupun dari orang-orang asing yg berkunjung ke negri ini. Dan, semua itu menjadikan kita bangga menjadi bagian dari bangsa ini.
Namun, seiring dgn perjalanan waktu, dan juga melihat betapa banyaknya peristiwa yg terjadi di Negara ini yg membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita bangsa yg ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi?
Ketika Indonesia masuk ke dalam daftar Negara-negara yg paling korup di dunia, atau sekelompok anggota masyarakat tertentu melakukan kekerasan atau memaksakan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat lainnya, kita bertanya-tanya benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yg ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi?
Melihat kekerasan yg dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah serta perusakan gereja dan kekerasan terhadap jemaatnya membuat sulit bagi kita utk dpt menerima pernyataan bahwa bangsa Indonesia ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi. Argumen yg selalu dikemukakan adalah itu hanyalah ulah sebagian kecil komponen bangsa ini, dan bukan gambaran dari sikap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun, kerap terjadi kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat tertentu menjadi pernyataan bahwa bangsa Indonesia yg ramah-tamah memiliki toleransi dan budaya yg tinggi selalu digugat kembali.
Kita ingin percaya bahwa tindakan yg tdk ramah-tamah, tdk toleran, dan tdk berbudaya itu hanya merupakan ulah sebagian kecil dari komponen bangsa ini, tetapi hal itu sulit dilakukan, apalagi melihat ulah dan perilaku orang-orang Indonesia di jalan raya setiap hari. Jalan raya bagaikan rimba belantara, khususnya pd saat jam-jam sibuk, yakni jam-jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam itu seakan-akan peraturan dan aturan lalu lintas tdk berlaku.
Ketika kenyataan seperti itu diangkat ke permukaan, tidak sedikit orang yg bersikeras mengatakan, pd hakikatnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yg ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi. Namun,begitu mereka menggunakan atribut (seragam) tertentu, atau mengendarai kendaraan bermotor tiba-tiba orang Indonesia akan menjadi orang yg tdk ramah-tamah, tidak memiliki toleransi, dan tidak berbudaya.
Dgn menggunakan atribut tertentu, seakan-akan orang berhak melakukan apa saja. Lihat saja perilaku dan ulah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat akhir-akhir ini. Begitu pula di jalan raya. Lihat bagaimana sulitnya pejalan kaki yg ingin menyebrang jalan. Jangankan di ruas jalan yg tdk memiliki lajur penyebrangan (zebra cross), yg memiliki pun tdk digubris. Para pengguna kenderaan motor sama sekali tidak memedulikan lajur penyeberangan. Pengguna sepeda motor lebih parah lagi, lampu lalu lintas pun seakan tdk berlaku bagi mereka.
Pengendara sepeda motor dan pengendara mobil seperti malas mengerem utk memberikan kesempatan bagi pejalan kaki utk menyebrang atau memberikan kesempatan kepada pengendara lain utk membelok dan melintas di depan sepeda motor atau mobil yg mereka kendarai. Itu adalah pemandangan yg dpt dgn mudah di temui di jalan raya setiap hari.
Lihat juga bagaimana angkutan umum dgn seenaknya sendiri berhenti menunggu penumpang atau dgn tenangnya melaju di jalan yg berlawanan pd saat mobil-mobil di jalurnya mengantre panjang. Tdk sedikit pengendara mobil pribadi yg melakukan hal yg sama. Bahkan, tdk sedikit sepeda motor dan mobil pribadi, termasuk mobil-mobil papan atas , yg melanggar rambu dilarang membelok.
Akan tetapi, jika kita amati dgn seksama, bukan hanya pengendara kendaraan bermotor yg bersikap tdk ramah-tamah, tdk memiliki toleransi, dan tdk berbudaya, melainkan juga pengguna jalan lainnya, seperti pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Pejalan kaki lebih memilih membahayakan keselamatan dirinya dan diri pengendara sepeda motor atau mobil drpd menggunakan jembatan penyeberangan. Bahkan, mereka lebih memilih merusak pagar pembatas dan menerobosnyamenggunakan jembatan penyeberangan.
Hal yg sama juga dilakukan pedagang kaki lima. Di pasar-pasar tradisional pedagang kaki lima menggelar dagangannya di badan jalan. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa ulah mereka itu menimbulkan kemacetan lalu lintas karena mereka menguasai satu lajur badan jalan. Sisanya, satu lajur lagi, digaunakan angkutan umum utk menunggu penumpang. Antrean kendaraan di belakangnya sangat panjang, tetapi siapa yg peduli.
Dalam rangka memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia pd tgl 17 Agustus 2010, ada baiknya kita merenung dan melakukan introspeksi : masih bisakah kita menyebut diri sebagai bangsa yg ramah-tamah serta memiliki rasa toleransi dan budaya yg tinggi seperti yg kita gembar-gemborkan selama ini?
Dgn berintrospeksi, kita akan mengetahui kelemahan-kelemahan yg ada dan mencari cara utk memperbaikinya serta mulai mengajarkannya kpd anak-anak kita sejak dini.
Sikap toleran kpd sesama yg paling sederhana yg dapat dilakukan adalah mengajarkan kpd anak-anak kita utk mengantre. Dgn mengantre, kita menunjukkan bahwa kita menghargai org lain yg sdh hadir lebih dulu.
Selama ini kita hanya berhenti sampai pd gagasan-gagasan yg besar saja. Contohnya, kita hanya diajarkan harus menghormati orangtua, orang lebih tua, dan orang lain. Pernyataan ini selalu diulang-ulang setiap kali. Namun, kita tdk pernah diajarkan bagaimana cara melakukannya atau bagaimana rinciannya.
Pd masa lalu kita memiliki tata cara bertingkah laku yg baik. Misalnya, berjalanlah di sebelah kiri, apabila saat menyeberang berdirilah di sebelah kanan orang yg harus dilindungi (anak-anak, perempuan, atau orang yg lebih tua). berikan kesempatan kpd orang yg keluar lebih dulu. Jika menaiki tangga, berjalanlah di belakang orang yg dilindungi atau jika menuruni tangga, berjalanlah di depan orang yg harus dilindungi.
Dgn menengok ke masa lalu, bukan berarti kita mengagung-agungkan masa lalu, atau menafikan bahwa jaman dan kondisi telah berubah. Kita dpt mencari hal-hal yg masih relevan dan dapat ditetapkan utk masa kini. Tentunya dgn melakukan penyempurnaan di sana-sini.
Memberi salam hormat atau tersenyum kpd orang lain hanyalah merupakan langkah awal menuju sikap yg ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yg tinggi. Ada banyak rincian tindakan lagi yg perlu menunjang itu. Apalagi utk membuatnya tercermin melalui perilaku dan ulah kita di jalan raya. Dirgahayu RI.[-O-]

Minggu, 20 Februari 2011

Komodo, Obsesi Indonesia 100 Persen

ENAM penari mengakhiri tarian dgn membuka paying kertas putih bertuliskan beberapa suku kata. Ketika dibaca, rangkaian paying-payung itupun bertuliskan “100 % Indonesia”. Seusai meletakkan paying itu di panggung mereka sekali lagi membuka paying lainnya hingga terurai kalimat “Bus Komodo”.

Suara klakson bus pun terdengar, sebuah bus temple produksi PT Asian Auto International (AAI) berjalan perlahan dan berbelok menembus tirai putih memasuki sisi panggung. Itulah peluncuran bus gandeng Komodo yg menjadi obsesi Karya Indonesia seratus persen.

Peluncuran yg dilakukan di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Selasa (23/9) siang, itu cukup unik. Peresmian yg biasanya menggunakan sirene diganti dengan mengelus patung Komodo. Peluncuran ini menandai “penyerahan” produksi AAI kpd pemesan perdananya, PT Eka Sari Lorena Transport, sebelum dioperasikan menjadi sarana angkutan massal.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris, yg didaulat mengelus patung komodo sebanyak tida kali, pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Heran. Apalagi peluncuran itu disaksikan Dubes Malaysia utk RI Dato Zainal Abidin Zain.

Bus berwarna abu-abu dan berdisain binatang khas Indonesia, komodo, itu dirancang dgn ketinggian lantai 110 cm dan panjang 18 meter. Bus produksi dalam negri ini menggabungkan komponen terbaik yg terdapat di sebagian besar bus kota di Eropa.

Komodo adalah contoh bagaiman kerjasama dan kemitraan internasional mampu menguntungkan perusahaan-perusahaan lokal dalam merekayasa kendaraan niaga berteknologi maju. “Betul, secara teknologi permesinan, kita memang masih bergantung pd impor Jerman dan Korsel. Paling tidak, body dan chasis serta beberapa komponen penunjang lainnya sudah diproduksi di Indonesia sekitar 50 persen,” kata Direktur Manufaktur AAI Bus B Muljadi.

Presdir AAI Ruddy Soesilo mengatakan, bus temple ini berbahan baker gas alam terkompressi. Pendiri AAI telah memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam industri otomotif dan transportasi. Komodo dirancang di atas rangka penopang (chasis) secara monoque dan berlantai tinggi yg memberikan kekuatan, kestabilan, dan kendali.

Bus ini memiliki kekuatan tenaga mesin 340 HP (horse power) dari Infracore Doosan (Korea). Bus inipun didisain utk menghasilkan tenaga torsi mencapai1.373 Nm dgn respon seketika terhadap katup atur, percepatan siaga, dan kemampuan lagging pd putaran rendah.

Mesin ini digabungkan dgn transmisi otomatis DIWA 3 Voith (Jerman) yg menghasilkan perpindahan gigi lebih halus dan dilengkapi rem pelambat yg menyatu pd transmisi. Dgn demikian, efek pengereman lebih tanggap sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya panas yg berlebihan dan kehausan komponen.

Untuk mendukung bebanberat, axle ratio dirancang pada 6,8 yg secara keseluruhan menghasilkan penghematan Bahan Bakar dan pengurangan keausan pd komponen. Ini berdampak pd turunnya biaya permeliharaan. AAI memproduksi bus itu atas pesanan PT Eka Sari Lorena Transport seharga Rp.4 Miliar (off the road) per unit utk kebutuhan busway transjakarta koridor V (rute Kp Melayu-Ancol), yg akan segera dioperasikan. Hingga kini, 13 bus tempel ini hampir selesai diproduksi di kawasan Bukit Sentul, Bogor.

Bus tempel ini merupakan salah satu jawaban kebutuhan pemerintah utk mendukung moda transportasi massal, sekaligus sarana penghemat subsidi bahan bakar minyak. Kita tunggu saja.[-O-]

Mencari Tuhan di Kota Metropolitan

Malam hari saat kota Jakarta masih penuh hiruk pikuk, sejumlah orang memilih menyendiri lewat iktikaf, yaitu berdiam diri sambil beribadah di mesjid pd malam-malam terakhir Ramadhan, mereka berusaha mencari kedamaian.

Suasana di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/9) malam, cukup tenang. Sekitar pukul 22.00 Endri Sudiro (42), seorang lelaki kurus berkaca mata, memasuki Mesjid sambil sambil menjinjing tas hitam. Ia duduk tenang di ruang shalat.

Biar tak perlu keluar-keluar masjid lagi, ia membawa bekal dalam tas hitamnya, yaitu aneka kue pengganjal perut. Untuk sesaat, ia mencermati ceramah Prof KH Mustofa Yakub, guru besar Masjid Sunda Kelapa, tentang ibadah. Selesai ceramah, Endri kemudian berdiam diri lagi. "Di sini saya merenungi kesalahan-kesalahan saya," katanya.
Lelaki itu bercerita. Ia dibesarkan di lingkungan pesantren di Bogor, Jawa Barat. Hingga duduk di bangku SMA, ia cukup rajin beribadah, termasuk beriktikaf saat Ramadhan. Namun, kehidupan berubah 180 derajat ketika ia menjadi pemain keyboard dalam salah satu grup musik. Kemudian, ia pindah ke Jakarta dgn status baru sbg musisi beken.
Tanpa bekal ketahanan mental, ia terseret dalam sisi gelap dunia hiburan. "Mulai dari bermain perempuan, mabuk-mabukan, pakai narkoba, semua pernah saya lakukan. Uang belasan juta bisa habis dalam sehari utk foya-foya ke tempat hiburan. Satu rumah dan dua mobil amblas," kenangnya dgn wajah murung.
Kehilangan harta benda dan merasa putus asa membuat dirinya kepepet, lantas teringat kepada Tuhan. Endri kemudian mencoba menekuni iktikaf lagi. Suatu kali, ketika sedang menenangkan diri di masjid pd malam hari, sesosok berjubah putih seperti menyeretnya ke tempat terang benderang. "Mungkin itu petunjuk, saya harus bertobat, meninggalkan dunia hitam," katanya.
Pelan-pelan hidupnya berubah. Endri kini menggeluti pekerjaan di sebuah rumah produksi di Bogor. Ia juga hijrah lagi ke Kota itu."Saya janji utk terus memperbaiki diri," katanya dgn semangat.
Setelah bercerita, ia kembali duduk diam di masjid. Malam semakin larut dan saat itu telah memasuki hari Jumat sekitar pukul 01.00. Pada dini hari yg sama di Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, joko Pujiono (53) juga tengah beriktikaf. Lelaki asal Plumpang Jakarta Utara, itu bersila sembari menundukkan kepala hingga lebih dari satu jam. ia juga memanfaatkan momen itu utk berintrospeksi diri. "Dulu saya nakal, sering melaan orangtua. Tapi, sekarang saya ingin banyak berdoa dgn berdiam di Masjid supaya hidup saya lebih baik," katanya.
Joko pun banyak beribadah dan selalu beriktikaf di masjid Luar Batang selama dua tahun terakhir. Bersama para anggota jemaah lain, ia juga berziarah ke makam pendiri masjid Husein bin Abubakar Alaydrus, di area masjid. Ritual serupa ditekuni lebih dari 100 umat Muslim yg malam itu beriktikaf di sana.

Oase
Itikaf telah mentradisi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Berdiam diri di masjid sambil beribadah itu bisa ditekuni pd 10 hari terakhir Ramadhan. Ibadah ini diyakini dpt mendekatkan manusia kpdAllah, bahkan memperoleh berkah malam Lailatul Qadar- malam yg lebih baik dari 1000 bulan. Malam ini ditunggu kaum muslim di seluruh dunia, termasuk di Jakarta. Maka, pd malam-malam akhir puasa, sejumlah Masjid disesaki Jemaah, seperti Masjid Sunda Kelapa, Masjid Luar Batang, atau Masjid Istiqlal. Lazimnya, mereka beriktikaf selepas tarawih sekitar pukul 22.00 hingga waktu sahur sekitar 03.00.
Apa relevansi itikaf bagi kaum muslim di Jakarta?
Kehidupan kota Metropolitan yg penuh rutinitas, membuat penat, cenderung terburu-buru, dan membelit orang dalam buaian material, semuanya itu membuat manusia tertekan bahkan mungkin stress. Sebagai gambaran, tahun 2007, warga Jakarta yg stress dan dirawat di puskesmas mencapai 1,4 juta jiwa. Satu dari empat pasien puskesmas di Jakarta juga menderita stres. (Kompas, 1 Desembar 2007)

Agaknya, iktikaf dpt menjadi sarana bagi warga Jakarta utk mundur sejenak dari keruwetan kehidupan kota. "Memburu kepuasan duniawi hanya membuat orang semakin haus dan haus. Orang-orang makin kosong jiwanya karena terus menerus mengejar materi. Dengan iktikaf, saya merasakan kedamaian dan kepuasan yg sesungguhnya," kata Ny Toha (70), warga kota Depok, Jawa Barat.

Sabtu dini hari lalu, perempuan yg masih tampak segar di usia lanjut itu berbaur di tengah ratusan remaja putri dan ibu-ibu yg beribadah di masjid Istiqlal. Ia mencari pencerahan di sana sejak menjelang berbuka puasa sekitar pukul 17.00 hingga waktu sahur sekitar pukul 03.00.

Tak hanya merenung, dia juga membaca Alquran dan shalat tahajud. Ny toha menikmati ritual ini sejak bertahun-tahun lalu. Saat mendengarkan imam berdoa, saya merasa seperti melayang, seperti tidak berbobot. begitu kecil dan tdk berarti," ucapnya.[-O-]

Selasa, 08 Februari 2011

Bertumpuk di Bedeng Sempit Demi Rupiah

Taslim (24) biasa berdagangmakanan di kawasan Senayan, Jakarta. Sebuah kawasan yg menjadi salah satu pusat perekonomian yg ramai. Namun, seperti sebagian besar pedagang perantau, ia tinggal di bedeng sempit. Malah tak jarang Taslim harus berbagi ruang dgn perantau lain. Mereka rela berdesakan dalam ruang sempit tsb demi bisa berhemat agar uang sisa itu bisa dikirimkan ke keluarga mereka di kampung.
Laki-laki asal Brebes, Jawa Tengah yg berjualan nasi goreng itu mengontrak salah satu Bedeng di Grogol Selatan, kecamatan Kebayoran Lama, Jaksel. Bedeng itu hanya berukuran 2 meter x 2 meter dgn dinding tripleks dan seng. Untuk membayar uang sewa per bulan, ia harus merogoh kocek Rp.300.000.
Baru sebulan terakhir ini Taslim benar-benar "menikmati" privasi di bedeng sederhana itu bersama istrinya, Surki (21), sesama perantau Brebes yg dinikahinya delapan bulan yg lalu. Ia baru menyewa sendiri bedeng di perkampungan sempit itu setelah istrinya berhenti bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kebon Jeruk, Jakbar.
Sebelum itu, Taslim bersama empat perantau asal Brebes, yg juga berjualan nasi goreng, menempati satu bedeng berlantai tanah. Selain harus berbagi dgn temannya, di bedeng itu ia juga harus berbagi dgn perabot memasak serta beberapa pakaian yg tergantung. Banyak nyamuk, juga kecoak, tetapi bisa lebih irit," kata Taslim yg diiyakan istrinya, Surki, Jumat (4/2) petang.
Kondisi bedeng yg memprihatinkan itu tak terlalu dipusingkan oleh Taslim dan empat orang temannya, Tandis (23), Yakub (25), Warno (45), serta Suhari (20). Menurut Taslim, hanya 1-2 orang saja yg tidur di dalam bedeng dgn membentangkan tikar, sementara lainnya biasanya memilih tidur di dipan papan yg berada di luar bedeng.

Dimodifikasi
Kondisi lebih sederhana dialami oleh 25 pedagang tahu gejrot yg menyewa bedeng berukuran 3,5 meter x 8 meter, juga di Grogol Selatan. Mereka memodifikasi bedeng tsb dgnmembuatnya jadi "bertingkat". Lantai bawah berketinggian 165 cm dgn alas karpet tipis, sementara bagian atas dibuat dari rangka bambu dilapisi tripleks. Setelah itu baru dialasi dgn karpet kain.
Di rumah sewaan sangat sederhana itulah para perantau dari Cirebon, Jawa Barat itu, tinggal sehari-hari. Mereka tdk memedulikan masalah kenyamanan karena di rumah itu mereka sekedar merebahkan badan dan menutup mata sejenak.
Sumiah (41), penjaga bedeng itu menuturkan, mereka mulai berjualan selepas tengah hari. Pukul 22.00-23.00 barulah satu per satu pedagang itu pulang. Pagi-pagi mereka sdh harus menyiapkan dagangannya.
Sementara Taslim dan teman-temannya mulai mendorong gerobak nasi goreng menuju kawasan Senayan pukul 18.00. Setelah menjelang subuh baru mereka pulang utk rehat. Tengah hari mereka kembali harus memasak nasi dan menyiapkan bumbu nasi goreng.
Hasil yg didapat para perantau makanan keliling dari kerja banting tulang tidak menentu. Jika sedang bagus dan dagangan habis, bisa memperoleh omzet Rp.300.000 dgn keuntungan separuhnya.
Namun, kadangkala malah harus tombok karena dagangan tidak habis. "Kemarin cuma laku Rp.30.000. Padahal, harga-harga barang sekarang naik semua," tutur Surki.
Harga beras naik dari Rp.7.000 menjadi Rp.8.000 per kg. Harga cabai seperempat kr Rp.25.000, naik dari sebelumnya Rp.10.000. Namun, dia belumberani menaikkan harga nasi goreng Rp.8000 per porsi.
"Terpaksa dua bulan ini tdk bisa kirim uang ke kampung," tutur Surki. Sebelumnya dua bulan sekali suaminya bisa mengirim Rp.500.000. Tampaknya bayangan mudahnya mencari uang di ibukota, tak dirasakan mereka.[-O-].

Rabu, 02 Februari 2011

Pensiunan Polisi Tembak Anaknya Hingga Tewas

Martin Hungan, purnawirawan perwira menengah polisi, menembak anak kandungnya hingga akhirnya meninggal dunia, Rabu (4/8). Kasus ini masih diselidiki polisi, termasuk soal senjata yg digunakan Martin, yg terakhir bertugas di koperasi Kepolisian Daerah Kalimantan Barat.

Kepala Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Pontianak Komisaris Besar Rachmat Mulyana mengatakan, Martin telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Poltabes Pontianak. “Pengakuan tersangka, anak kandungnya menggunakan pisau utk membunuh dan mengancam anggota keluarga yg lain. Jadi, dalam kondisi sangat terpojok, tersangka menggunakan senjata api itu,” katanya.

Penembakan terhadap anak kandung Martin, Leonard Hungan (36) itu terjadi di rumah keluarga tersebut di gang Pak Majid I, Jalan Danau Sentarum, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, kemarin siang. Sebelumnya, Martin dan Leonard terlibat cekcok mulut di teras rumah, yg berlanjut dgn perkelahian di dalam rumah. “Sudah sering terjadi cekcok mulut dan perkelahian karena dipicu perilaku Leonard,” ujar Wachmat.

Terkait senjata api yg digunakan Martin, Rachmat menyatakan masih akan mendalaminya. “Senjata yg digunakan itu mirip dgn senjata organic yg digunakan polisi. Tetapi, apakah itu memang senjata organic polisi atau bukan, akan terus kami dalami,” katanya.

Pistol yg digunakan adalah revolver jenis S & W caliber 3,8 milimeter. “Dari hasil olah TKP, peluru yg digunakan adalah peluru tajan,” ujar Rachmat.[-O-]