Rabu, 11 Agustus 2010

Mengembalikan Kenangan Indah Kandangan

Mengembalikan Kenangan Indah Kandangan

Pikiran Jamiati (45) kembali ke tahun 1990. Masa-masa kelam saat ia tak bisa lagi bekerja di Perusahaan Perkebunan Kandangan, bekas perkebunan kopi peninggalan Belanda, di Kare, Madiun, Jawa Timur.

Warga Suweru, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun itu, bercerita, tahun 1990 adalah titik awal kehancuran perkebunan kopi seluas 2.500 hektar di Kandangan.

Produksi kopi 800 ton per tahun dan pernah diekspor ke Eropa tdk jalan karena produksi pun menurun. Ini terjadi karena ketika manajemen perusahaan yg dipimpin Hutama Sugandi terbelit hutang.

Imbas krisis tsb, biaya operasional berkurang, tanaman jadi tak terawat, dan jumlah karyawan berangsur dipangkas, dari sebelumnya 1.000 orang menjadi 300 orang tahun 2000. Salaah satu korbannya, ya, Jamiati sendiri.

Padahal, sdh sejak tahun 1984 Jamiati bekerja di situ. Meskipun penghasilannya tdk besar, Rp.2.000 per hari, penghasilan itu teramat penting karena jadi tambahan penghasilan, selain hasil tani dari lahan berbukit seluas setengah hektar yg bisa ditanami saat musim hujan.

Namun, saat tambahan penghasilan itu hilang, anak satu-satunya akan lulus dr SMP, dan itu berarti butuh biaya tamabhan. "Namun, karena uang yg dibutuhkan tidak ada, anak saya terpaksa tdk melanjutkan sekolah. Ia lalu bekerja sbg buruh tani utk membantu keluarga," katanya.

Sekarang, 19 tahun setelah perubahan itu dialaminya, kehidupan Jamiati tidak berubah, bahkan bisa dikatakan lebih sulit karena anaknya yg hanya lulusan SMP lebih banyak menganggur saja.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka masih menggaantungkan pd lahan seluas o,5 hektar yg hanya bisa ditanami kacang saat musim hujan. Penghasilan dari kacang minimal Rp. 4 juta setahun. Artinya, setiap bulan hanya Rp.300.000, atau separuh dari upah minimum kabupaten (UMK) Kabupaten Madiun. "Setiap kali minta pekerjaan agar bisa mendapat penghasilan tambahan, pihak perkebunan selalu bilang tdk ada kerjaan," kata Jamiati.

Hartini, warga Suweru lain, juga pernah bekerja di perkebunan. "Sekarang mencari pekerjaan di sini semakin sulit. Kami memimpikan perkebunan itu hidup lagi."

Mimpi akan perubahan itu sempat muncul setelah kepemilikan perkebunan yg sudah ada sejak 1911 itu beralih ke tangan Siani, tahun 2000. Ternyata, yg terjadi malah sebaliknya. Kondisi semakin parah.

Sekitar tahun 2003, tiga bulan gaji karyawan plus tunjangan hari raya lebaran tdk dibayar perusahaan. Utk membayar gaji karyawan, aset perusahaan pun dijual, salah satunya mesin pengolah kopi. Begitu juga pohon-pohon Mahoni di perkebunan, yg ikut dijual. "Saat itu kondisinya 80 persen tanaman rusak. Tdk hanya kopi yg rusak, tanaman karet, cengkeh, dan kina juga rusak," kaata Yudi Prasetyo Utomo, administrator PT Perusahaan Perkebunan Kandangan.

Selang enam tahun sejak Siani menjadi pemilik Kandangan, harapan perubahan itu kembali muncul. Tahun 2006, kepemilikan beralih lagi kepada Heri Susanto Alamsyah setelah Heri membeli perusahaan dari tangan Siani plus melunasi hutang perusahaan. Total dana yg dikeluarkan, menurut Yudi, mencapai Rp. 41 Miliar.

Sejak itulah tanaman-tanaman di perkebunan, yaitu kopi,cengkeh, karet, dan kina dirawat kembali. Tahun 2009 hasilnya sdh terlihat. Sebagai contoh, produksi kopi di lahan seluas 500 hektar sudah 100 ton per tahun atau meningkat dua kali lipat dibandingkan dgn tahun 2006. Peningkatan produksi berdampak terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Dibandingkan dgn tahun 2006, saat ini pendapatan perusahaan meningkat 50 persen, dari sebelumnya Rp. 3 Miliar menjadi Rp. 4,5 Miliar.

Membaiknya keuangan perusahaan ini selalu berimbas pd bertambahnya pegawai yg direkrut. Dari sebelumnya hanya tersisa sekitar 300 orang, sekarang menjadi 600 orang.

Namun, pendapatan yg meningkat dan jumlah pegawai yg bertambah, menurut Yudi, hanya cukup utk menutupi operasional perusahaan. Karena itu, selain merawat, memperluas, dan memaksimalkan produksi, pengelola juga berencana membuat perkebunan menjadi lokasi agrowisata.

Penginapan, gedung pertemuan, dan restoran pun dibangun. Jalan menuju lokasi, yg sebelumnya sempit dan terbuat dari bebatuan, sekarang telah dilapisi beton dan memiliki lebar sekitar 5 meter. Rencananya akan dibangun pula sarana bermain anak-anak, sarana olah raga kolam renang, dan landasan helikopter. Semua fasilitas ini ditargetkan akan tuntas pembangunannya tahun 2003. "Upaya-upaya ini utk mengembalikan kenangan indah masa lalu," ujar Yudi.

Namun, utk mengembalikan kejayaan Kandangan, hal itu bukan perkara mudah. Selain mesin pengolah kopi dan karet rusak, pembangunan utk mewujudkan sebuah agrowisata disebut-sebut melanggar ijin dan mengancam keseimbangan lingkungan.

Terkait perizinan, dalam diktum keempat Keputusan Mendagri Nomor 19/HGU//DA/88 tentang pemberian Hak Guna Usaha atas nama PT Perusahaan Perkebunan Kandangan disebutkan, perkebunan hanya utk perkebunan cengkeh, kopi, karet, dan sereh.

Pembangunan agrowisata juga dikhawatirkan berdampak buruk terhadap keseimbangan lingkungan. Pasalnya, perkebunan berada di lereng Gunung Wilis yg menjadi kawasan tangkapan air dan tempat banyak sumber air berada. Air ini digunakan tidak hanya utk warga Kare, tapi juga utk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Madiun dan PLTA Giringan di Kare.

Ketua DPRD Kabupaten Madiun Tomo Budiharsojo meminta pembangunan agrowisata itu dikaji lg dgn pemerintah. Direktur PDAM Kabupaten Madiun Subiantoro belum mengetahui rencana penggunaan sumber air di Kare utk menyokong agrowisata. Namun, Yudi membantah telah melanggar izin hak guna usaha dan mengambil air dari sumber air PDAM.

Ia telah memiliki izin mendirikan bangunan sebelum bangunan penginapan dibuat. "Kami memanfaatkan air dari sumber air di areal perkebunan. Jadi tdk akan berpengaruh terhadap debit air PDAM, dan PLTA," kata Yudi.[-O-]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar