Minggu, 01 Agustus 2010

Bangsa Nasi Aking

Nasi kini sdh menjadi kehidupan, bahkan status. Dari sisi linguistik, kata nasi sdh ada sejak zaman baheula. Ungkapan mencari nasi di negri orang atau mencari sesuap nasi menunjukkan betapa nasi memiliki kedudukan tinggi. Karena mewakili rejeki. Kata nasi juga jadi bagian peribahasa, seperti nasi habis, budi bersua yg berarti ingat teman kalau sudah dalam kesusahan. Jadi, nasi merupakan kehidupan.
Ungkapan sdh merdeka kok masih makan gaplek menunjukkan nasi mempunyai status tinggi. Di zaman kolonial Belanda, nasi berasosiasi dgn status. Di kalangan orang Jawa ada kata-kata Londo wae doyan sego (Belanda saja doyan nasi), betapa pemerintah kolonial menjunjung tinggi harkat nasi. Bila mendengar kata nasi, asosiasinya langsung ke beras, dan itu berasal dari padi. Seolah belum makan bila belum menyantap nasi.
Kini, nasi bahkan menjadi status politik. Bagi pemerintah orde baru, dari Sabang sampai Merauke kalau belum semua rakyat makan nasi, politik belum bisa disebut stabil. Jika pemerintah tidak bisa menjamin pengadaan beras yg murah, tersedia setiap saat, dan dimana saja, pasti dicap sbg pemerintah yg gagal.
Saat ini, beras menjadi makanan mayoritas, lebih dari 95% penduduk Indonesia. Ketika warga kesulitan beras karena harganya melambung seperti saat ini, mereka masih berupaya makan nasi. Bedanya, yg dimakan tdk seperti biasanya, tetapi nasi aking.
Nasi aking adalah nasi daur ulang, yaitu nasi basi/sisa yg dicuci dan ditiriskan, dikeringkan lalu dimasak kembali. Karena dari nasi daur ulang, kita bisa menakar betapa minimnya gizi dan nutrisi yg terkandung di dalamnya. Segera muncul bayangan buruk ; rakyat, cepat atau lambat, akan mengalami krisis gizi, kurang gizi, bahkan busung lapar.
Jika ini berlanjut dlm tempo panjang, hal burukpun tak terhindarkan. Negri ini akan kehilangan generasi yg sehat dan cerdas. Sebaliknya, yg tercipta adalah genrasi ekil dan kerdil. Bahkan, negeri ini berpotensi kehilangan satu generasi.
Krisis beras, tanpa kita sadari, ternyata mendorong lahirnya bencana sosial dan budaya yg serius. Bagaiman mungkin "bangsa nasi aking" bisa bersaing dgn bangsa lain? Bagaimana mungking "generasi nasi aking" bisa kreatif dan pengemban tampuk kepemimpinan yg membawa negri ini ke posisi terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia.
Sebagai proses belajar yg tak pernah usai, kebudayaan membutuhkan dukungan banyak faktor. Antara lain, kecukupan gizi para pelakunya. Salah satu hal penting dalam kebudayaan adalah daya cipta atau kreatifitas. Berkembangnya kreatifitas sangat ditentukan oleh kondisi fisik para pelaku kebudayaan.. Kondisi fisik yg prima lebih memudahkan penyerapan dan internalisasi nilai-nilai kebudayaan seperti nilai-nilai etik, estetik, dan ilmiah. Sejarah membuktikan, bangsa yg mampu menghasilkan perdapan yg tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yg seha. Badan dan jiwa yg sehat dibangun dari kecukupan gizi.
Bangsa Indonesia pun punya catatan unggul. Generasi awal bangsa ini mampu melahirkan peradaban dan sejarah besar, misalnya Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit. Mereka melakukan kontak budaya dgn bangsa lain yg melahirkan sistem pengetahuan, sistem berniaga, ekspresi kultural, dan produk kultural. Candi Borobudur, Prambanan, dan sistem irigasi Majapahit yg mengagumkan dan membuat dunia berdecak kagum hanyalah beberapa contoh dari capaian peradaban mereka. Warisan budaya mereka jd salah satu modal penting bagi bangsa Indonesia utk membangun peradaban yg lebih berkualitas.
Tentu, generasi pendahulu bangsa ini memiliki kualitas kesehatan jiwa dan raga sehingga mampu melahirkan peradaban yg begitu bermakna. Pasti mereka bukan "bangsa nasi aking".
Pemerintah, seperti yg diobsesikan Presiden Yudhoyono, memiliki cita-cita besar; melahirkan bangsa yg cerdas,.terampil, dan takwa, atau bangsa yg berkarakter. Pertanyaanya, apakah obsesi besar itu bakal terwujud jika sebagian besar rakyat negri ini menglami bencana.pangan berkepanjangan? Bagaimana anak-anak kita bisa belajar dgn tekun dan intens jika selalu mengantuk dan perut mereka selalu memberontak.
Pangan yg cukup, sehat dan aman, adalah hak setiap warga negara. Konstitusi kita telah menjamin warga negara tidak lapar. Pasal 27 ayat 2 UUD 45 menjamin hak fakir miskin dan anak-anak telantar utk dipelihara oleh negara. Artinya, pemenuhan pangan yg cukup bagi setiap warga jadi kewajiban mutlak negara.
Jadi, dalam krisis beras, persoalannya tdk selesai pd kegagalan panen akibat cuaca, tdk juga menyangkut kebijakan pangan pemerintah. Benarkah pemerintah memihak rakyat dan berkomitmen memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan hak pangan? Atau ada agenda lain untuk kepentingan elite tertentu dan ekonomi tertentu?
Gejalanya, membiarkan harga beras centang perenang dieksploitasi pelaku pasar, nampaknya pemerintah sengaja memberikan ruang yg luas kpd kekuatan pasar dan modal utk mengisap mereka yg lemah. Gejala itu makin kentara ketika resep panik, instan, dan sporadis dijadikan solusi meredam harga beras : operasi pasar dan impor. Bukannya menempuh cara-cara mendasar dan jangka panjang.[-O-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar